REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan laboratorium komputer dan Alquran di Kemenag, Zulkarnaen Djabar tidak bisa menerima tuntutan jaksa penuntut umum. Anggota Komisi VIII DPR itu dituntut hukuman penjara selama 12 tahun dan harus membayar uang pengganti dengan subsider kurungan.
"Sesuatu yang saya alami ini tidak lazim," kata Zulkarnaen, selepas persidangan di pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/5).
Ia merasa ada yang janggal dalam proses peradilannya selama ini. Politisi Partai Golkar itu sudah merasakannya sejak ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada 29 Juni tahun lalu.
Zulkarnaen kembali merasakan itu setelah mendengar tuntutan jaksa KPK. Ia mengatakan, dari 19 saksi yang disebut tim jaksa, 18 orang di antaranya diperiksa setelah dia ditetapkan sebagai tersangka. Begitu pun dalam surat dakwaan. Ia mengatakan, dari 16 nama yang diambil keterangannya, 15 saksi muncul setelah dia menjadi tersangka.
"Bagaimana saya bisa dijadikan tersangka, terlebih dikaitkan dengan Dendy (Dendy Prasetya, terdakwa lainnya)," kata anggota Banggar DPR itu.
Isi surat tuntutan jaksa, lanjutnya, juga sama dengan dakwaan. Padahal sudah ada banyak saksi yang memberikan keterangan dalam persidangan. Kuasa hukum Zulkarnaen, Erman Umar, menilai banyak keterangan saksi dan fakta persidangan yang tidak menjadi bahan pertimbangan tim jaksa. Sehingga, Zulkarnaen sendiri melihat ada yang tidak lazim dalam proses persidangannya.
Zulkarnaen dan anaknya, Dendy, dituntut telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Jaksa yang dipimpin KMS Roni menyebut keduanya telah melanggar pasal 12 huruf d juncto pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo pasal 65 KUHP, sesuai dakwaan primer.