REPUBLIKA.CO.ID, Dewan Muslim Prancis atau French Muslim Council (CFCM) telah menetapkan awal Ramadhan di Prancis pada 9 Juli. Penetapan tersebut telah diumumkan pada Kamis (9/5).
Pengumuman yang sangat awal ini baru pertama kali dilakukan CFCM mengingat selama ini mereka menggunakan sistem rukyat dalam penentuan Ramadhan. Sepanjang sejarah Islam Prancis, mereka baru melakukan perubahan sistem dari rukyat ke hilal. Para pemimpin Muslim Prancis baru saja sepakat untuk beralih ke astronomi modern untuk membantu penentuan hari pertama bulan suci.
Selama ini, Muslim Prancis menunggu bulan baru muncul di setiap akhir Sya’ban. Namun, saat ini mereka tak akan lagi melakukannya. Astronomi modern dipilih sehingga mereka dapat menentukan awal Ramadhan jauh-jauh hari sebelumnya. “Ini bersejarah (bagi kami),” ujar pemimpin Muslim Prancis, Azzadine Gaci, seperti dikutip dari Reuters.
Menurut Gaci, selama ini Muslim Prancis dirundung masalah acap kali penentuan awal Ramadhan. Pasalnya, cuaca sering kali tak mendukung untuk melihat bulan sabit baru di Negara Eiffel tersebut. Maka, pada tahun ini diputuskan penggunaan perhitungan astronomi.
Hal senada juga dikatakan Presiden CFCM Mohammad Moussaoui. Menurutnya, permasalahan penentuan awal Ramadhan tersebut berdampak pada jadwal aktivitas Muslim Prancis. Bulan yang sering kali tak terlihat akibat cuaca membuat Muslim Prancis memundurkan waktu puasa hingga membuat jadwal mereka berantakan. “Metode lama (rukyat) berdampak pada jadwal untuk bekerja, sekolah, dan saat perayaan. Sekarang, semua ini akan disederhanakan,” tuturnya.
Dari perhitungan astronomi tersebut, CFCM menentukan 9 Juli sebagai hari pertama Ramadhan di Prancis. Terlepas dari kontroversional antara rukyat dan hilal, penentuan awal ini berdampak positif bagi Muslim Prancis. Tahun ini, untuk pertama kalinya, Muslimin Prancis dapat memulai puasa secara berjamaah. “Sekarang semua Muslim di Prancis dapat memulai Ramadhan pada hari yang sama,” jelas Azzadine Gaci.
Selain penentuan awal bulan puasa, Muslim Prancis juga tengah mengajukan permohonan libur saat Hari Raya Idul Fitri kepada pemerintah. Mereka berharap Idul Fitri dapat menjadi hari libur nasional Prancis. “Aturan baru mengizinkan Muslim untuk meminta hari raya masuk ke dalam kalender nasional. Ini sangat penting bagi kami bahwa mereka (Pemerintah Prancis) berkenan mempertimbangkannya, itu saja,” tutur Moussaoui.
Penentuan awal Ramadhan memang menjadi isu pelik di kalangan Muslimin, termasuk negara-negara Muslim. Banyak perbedaan fikih mengenai permasalahan tersebut. Di Indonesia, isu ini selalu diperbincangkan acap kali datangnya Ramadhan dan hari raya. Kendati demikian, hal tersebut merupakan perbedaan pandangan fikih yang diatasi masing-masing pemimpin negara.
Adapun di Barat, selain karena minimnya pemerintahan Muslim, mereka mengalami permasalahan cuaca. Akibatnya, penentuan awal bulan hijriah menjadi suatu permasalahan tersendiri. Selain Prancis, Muslimin di Jerman dan Bosnia juga menggunakan metode astronomi modern untuk menentukan awal bulan puasa.
Berdasarkan data dari PEW Forum, Prancis merupakan rumah bagi 3,5 juta Muslimin. Negeri para pencinta ini menduduki peringkat ketiga Eropa dalam hal jumlah penduduk Muslim terbanyak. Peringkat pertama dan kedua berturut-turut diduduki Rusia dan Jerma