REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dinilai sebagai penyebab utama sikap apatis publik terhadap partai politik. Meski 15 tahun sejak reformasi dicetuskan untuk memberantas KKN, praktik KKN terus terjadi dan bertransformasi menyesuaikan zaman.
"Apatisme terjadi karena KKN tetap muncul dalam bentuk lain," kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Golkar, Hajriyanto Thohari dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/7).
Jika dulu dikenal kolusi, saat ini publik lebih mengenal istilah kongkalikong. Kemudian, praktik nepotisme saat ini lebih dikenal dengan politik dinasti.
Ironisnya, ujar Hahriyanto, praktik KKN malah paling banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh dari partai politik. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap parpol semakin tergerus.
Akhirnya, yang muncul hanya sinisme terhadap parpol yang semakin tinggi. Meski sebagian masyarakat cukup sadar akan perkembangan politik, tetapi terhadap parpol sikap mereka cenderung sinis.
Persoalannya, lanjut Ketua DPP Partai Golkar itu, negara Indonesia tidak pernah serius menyikapi KKN dan memotong akar permasalahannya. Praktik ini ditanggapi sebagai gejala sesaat yang diselesaikan dengan upaya cepat.
"Gejala KKN itu sebenarnya disebabkan oleh feodalisme. Itu terjadi pada parpol dan itu yang harus dihancurkan, bukan gejala dari feodalismenya," ungkap Hjariyanto.