REPUBLIKA.CO.ID,YANGON -- Pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi mengutuk keputusan dari pemerintah lokal di negara bagian Rakhine yang memaksakan kebijakan dua anak bagi warga muslim Rohingya.
Kebijakan tersebut sudah ada sejak 1994, namun otoritas setempat baru-baru ini memaksakan itu di wilayah dimana ada tingkat kelahiran tinggi. Wilayah itu juga dikenal memiliki ketegangan antar umat yang tinggi. Ketegangan tersebut membuat bentrokan antara Budha dan Muslim di wilayah barat pekan lalu.
Suu Kyi juga mendapat kritik karena tidak bersikap dalam menanggapi hak-hak Rohingya. Puluhan ribu warga Muslim Rohingya menjadi pengungsi karena kekerasan yang terus terjadi.
Komisi yang menginvestigasi kasus kekerasan di Rakhine menilai keluarga berencana digunakan untuk menekan pertumbuhan populasi warga. Pada SAbtu lalu, kebijakan dua anak dikenalkan di dua kota, Maung Daw dan Bu Thi Daung. Tidak jelas bagaimana hal itu dipaksakan.
Suu Kyi mengatakan tidak dapat mengonfirmasi apakah kebijakan tersebut diterapkan, tetapi jika benar, maka hal itu ilegal."Diskriminasi ini tidak baik. Dan, ini juga tidak sejalan dengan hak asasi manusia," ujarnya dilansir BBC.
Human Right Watch menuduh otoritas Myanmar ambil bagian dalam pembersihan etnis selama Juni dan Oktober tahun lalu. Kekerasan itu telah menewaskan 200 orang dan 14 ribu orang mengungsi. Rohingya merupakan komunitas tanpa negara yang terdiri dari 800 ribu orang dan tidak dikenal sebagai warga Myanmar.