REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
(Penulis Buku “Keadilan Tuhan dalam Tulisan”)
Rekonsiliasi adalah upaya kompromistis yang ditempuh untuk mengakomodasi dua kepentingan yang berbeda. Ada rekonsiliasi untuk misi mulia, ada pula rekonsiliasi dalam rangka mendukung misi tercela. Sejarah dakwah Islam telah membeberkan secara gamblang upaya rekonsiliasi demi tujuan tercela itu.
Ketika perkembangan Islam semakin pesat, kaum kafir Makkah berusaha melakukan rekonsiliasi, melobi Rasulullah agar mau menyembah berhala-berhala mereka, dan mereka akan menyembah Allah. Kompromi ibadah itu ditolak Rasulullah.
Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku’.” (QS Al-Kafirun: 1-6).
Tidak ada istilah kompromi ibadah dalam Islam. Ibadah itu wilayah akidah. Toleransi beragama memang dianjurkan. Alqur’an mengajarkan agar kita menghormati, bahkan tidak mencela agama lain. “Dan jangan kalian mencela sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencela Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS Al-An’am: 108). Namun, bukan berarti harus bersikap kooperatif dalam urusan akidah dan kejahatan. “Maka jangan kamu turuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menginginkan agar kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu.” (QS Al-Qalam: 8-9).
Kita harus bersikap lembut, tetapi bukan untuk urusan makar kepada Allah dan berbuat jahat. Keimanan dan kekafiran itu ibarat air dan minyak. Untuk dapat tegak di atas pondasi keimanan dan kebenaran, Allah melarang kita untuk mematuhi para pemuja nafsu yang lalai (QS Al-Kahfi: 28), kaum kafir dan munafik (QS Al-Ahzab: 48), serta para pendosa (QS Al-Insan: 24).
Sayang, kita kerap lupa menangkap isyarat Alqur’an. Kenyataan sehari-hari membuktikan betapa sukar kita menghindar dari berbagai rekonsiliasi keji. Jangan lagi soal kredibilitas dan martabat diri, bahkan agama bisa kita gadaikan. Tidak peduli ada pihak lain dirugikan, asal para pemegang kepentingan meraup keuntungan. Itulah yang tampak pada praktik KKN, premanisme, pelacuran, narkoba, gratifikasi, dan serupanya. Semua tidak akan sukses tanpa rekonsiliasi di antara pihak berkepentingan yang saling ingin diuntungkan.
Tidak mudah, memang, menjadi pejuang di kalangan pencoleng, menjadi sederhana di antara pemuja dunia. Di zaman serba sulit, kita seolah turut membenarkan anggapan bahwa siapa jujur pasti hancur, siapa sabar pasti terkapar. Diam-diam, kita juga mendukung igauan bahwa untuk bisa mencapai posisi atas harus menempuh jalan pintas.
Tantangan terberat kaum beriman adalah menjadi mutiara di tengah tumpukan kotoran. Di situlah kualitas keimanan kita dipertaruhkan. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi. Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.” (QS Al-Ankabut: 2-3).
Kodrat sebagai manusia saja tidak ringan, apalagi setelah menyatakan diri sebagai kaum beriman. Ditegaskan Allah, sejak semula, manusia memang memikul amanat yang tidak selainnya sanggup memikulnya. “Sungguh Kami telah menawarkan amanat itu kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Semua enggan memikulnya dan takut mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab: 72).
Dengan demikian, menjadi mustahil ketika kita mengharapkan tantangan yang lebih ringan dari makhluk-makhluk Allah yang lain. Kita adalah kreasi unggulan, dibekali hati dan akal. Dengan kekuatan hati dan akal, kita diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan. Hati dan akal akan mengantarkan kepada kemuliaan hidup ketika diterangi agama (QS Al-Baqarah: 2). Sebaliknya, ketika nafsu yang membimbing hati dan akal, kita akan terjerembab ke neraka (QS Al-Baqarah: 39).
Mari teguhkan niat dan langkah. Segala tawaran rekonsiliasi yang tidak berujung pada ketaatan dan kebaikan, harus kita tolak. Tantangan dan risiko yang muncul setelahnya tidak akan terasa berat sekiranya kita serahkan kepada Allah.
Ayat berikut menarik direnungkan, “Jika mereka sungguh-sungguh rela terhadap apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya dan berkata, ‘Cukuplah Allah bagi kami. Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rasul-Nya. Sungguh kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’.” (QS At-Taubah: 59).