REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Jawa Barat rawan konflik keagamaan. Menurut Kapolda Jawa Barat, Inspektur Jenderal Suhardi Alius, perlu dikaji bagaimana kepolisian mengelola konflik keagamaan yang terjadi di Jawa Barat.
Untuk itu, diperlukan pemetaan mengenai konflik keagamaan di Jawa Barat. Beberapa konflik yang kerap terjadi biasanya terkait dengan izin pendirian rumah ibadah dan keagamaan.
"Setelah dipetakan, baru dijabarkan langkah penyelesaiannya," ujarnya saat mengisi Seminar Hukum 'Penanganan Konflik Sosial dan Anarkisme' yang diselenggarakan Universitas Langlangbuana dan Polda Jabar, Senin (24/6).
Menurut Kapolres Tasikmalaya, AKBP Wijonarko, Jawa Barat khususnya Tasikmalaya merupakan daerah homogen sehingga masalah keagamaan atau SARA sangat sensitif.
Untuk diketahui, kata dia, Tasikmalaya menjadi kantong-kantong penganut Ahmadiyah, seperti di Kecamatan Tejowaringin, Singaparna dan Sukaraja. Belum lama ini, kata dia, terjadi kasus penganiyaan di Tasikmalaya yang berakar dari konflik agama.
Oleh sebab itu, perlu upaya-upaya preventif dalam menangani konflik dan anarkisme. Sebab, situasi kondusif merupakan harapan semua orang. Salah satu cara preventif yang dilakukan ialah dengan lebih menjalin komunikasi dengan tokoh agama, masyarakat dan penguatan intelijen.
"Kita baru menyelesaikan konflik secara hilirnya saja, sementara hulunya tidak diselesaikan,"ujar dia.