REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Situasi Mesir yang sedang tidak kondusif membuat KBRI Kairo secara intensif melakukan kontak dengan para tenaga kerja Indonesia (TKI).
Kontak secara terus menerus dilakukan terutama dengan TKI yang tinggal di daerah rawan unjuk rasa, seperti di Bundaran Tahri dan Bundaran Rabiah Adawiyah di Kairo dan Iskandariyah.
Pernyataan itu disamapiakan Kepala Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Kairo, Nugroho Yuwono Aribhimo di Kairo, Ahad (8/7) waktu setempat.
Dalam kesempatan itu, Nugroho mengatakan, dalam enam bulan terakhir, KBRI Kairo, Mesir, memulangkan 20 tenaga kerja Indonesia atas biaya negara. Berbagai alasan menyertainya, salah satunya karena majikan mereka tidak bisa diminta pertanggungjawaban.
Ia menjelaskan, sekarang masih terdapat 12 orang lagi di penampungan KBRI Kairo, dan dalam proses pemulangan.
Persentase TKW yang mengadu nasib di Mesir itu 60 persen di antaranya datang langsung dari Indonesia, dan selebihnya dari negara-negara Teluk baik dibawa majikan warga Mesir maupun majikan warga negara asing.
Nugroho mengatakan, "Para TKW ini bisa dikategorikan ilegal atau korban penyelundupan manusia (human trafficking) karena diberangkatkan secara nonprosedural dan bukan ke negara tujuan TKI informal," katanya.
Dikemukakan, ada tiga alasan mengapa mereka dikategorikan sebagai korban penyelundupan manusia, yaitu pertama, undang-undang Mesir nomor 64 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terpadu hanya mengatur pekerja asing sektor formal dan tidak mengatur pekerja asing sektor informal.
Kedua, tidak ada perjanjian Indonesia-Mesir mengenai pekerja informal, "Dan ketiga, pemerintah Indonesia tidak pernah menetapkan Mesir sebagai negara tujuan TKI informal."