Saturday, 18 Rajab 1446 / 18 January 2025

Saturday, 18 Rajab 1446 / 18 January 2025

Demokrasi, Antara Budaya dan Nafsu Politik

Senin 23 Mar 2015 18:00 WIB

Red: Dwi Murdaningsih

Pengamat LIPI Ikrar Nusa Bhakti (kanan) dan Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR-RI Zainud Tauhid Saadi (kiri) menjadi pembicara dalam dialog MPR-RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (23/3). Dialog tersebut mengangkat tema Budaya Politik Dan Pengaruhnya Di

Pengamat LIPI Ikrar Nusa Bhakti (kanan) dan Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR-RI Zainud Tauhid Saadi (kiri) menjadi pembicara dalam dialog MPR-RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (23/3). Dialog tersebut mengangkat tema Budaya Politik Dan Pengaruhnya Di

Foto: Republika/Agung Supriyanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan reformasi pada 1998 sudah membawa banyak perubahan bagi bangsa dan Negara Indonesia. Terutama menyangkut demokratisasi, keterbukaan dan system checks and balances. Namun, ada juga sejumlah penyelewengan dalam kehidupan berdemokrasi. Ini terjadi karena sejumlah elit hanya memaknai politik sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan. 

 

Karena itu banyak politisi yang hanya memikirkan cara-cara mendapatkan kekusaan. Mereka  berusaha untuk melanggengkan kekuasaan yang  dimiliki, termasuk kepada sanak saudara dan keturunannya. Sehingga mengabaikan etika dan budaya politik. Pernyataan itu disampaikan  Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI  Zainud Tauhid Saadi ketika menjadi narasumber pada acara dialog pilar Negara, Senin (23/3). 

 

Acara yang berlangsung di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR RI, itu mengetengahkan tema Budaya politik dan pengaruhnya di masyarakat. Selain Zainud Tauhid,  acara tersebut juga menghadirkan narasumber Pengamat LIPI, Ikrar Nusa Bhakti. 

 

Untuk menghindari agar praktek penyimpangan demokrasi, itu tidak berlanjut menurut Zainud Tauhid, partai politik harus berperan lebih besar. Baik dalam hal pendidikan politik kepada kader dan simpatisannya. Maupun dalam penyaringan para caleg serta calon kepala daerah. 

 

“Ini penting untuk meminimalisir munculnya politikus yang minim modal politik serta sosial, dan hanya mengandalkan modal materi semata", kata Zainud Tauhid.

 

Hingga kini, menurut Zainud praktek demokrasi di Indonesia belum berjalan seperti yang diharapkan. Terbukti demokrasi belum bisa menunjang tercapainya kesejahteraan. Seharusnya dalam sebuah Negara yang menjalankan sistem demokrasi,  kesejahteraan masyarakatnya bisa mengalami peningkatan. 

 

Sementara Pengamat LIPI, Ikrar Nusa Bhakti berpendapat, tidak mudah menetapkan sebuah budaya politik dalam masyarakat yang multi etnik, seperti di Indonesia. Apalagi, ada perbedaan yang mendasar antara elit dengan masyarakat.  Karena budaya elit dan kepentingan elit lebih besar dibanding masyarakat. 

 

Namun, ada sejumlah tingkah laku para elit yang bisa berpengaruh dimasyarakat. Misalnya kebiasaan bersalaman, atau cipika dan cipiki setelah sidang yang panas diruang siding selesai.  “Keakraban seperti itu bisa menjadi contoh bagi masyarakat, bahwa seluruh persoalan harus selesai di dalam ruang rapat. Setelah keluar, semua harus kembali normal, tidak ada perbedaan dan pertikaian apapun”, kata Ikrar.

 

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler