REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota fraksi PKB MPR sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR Muhammad Lukman Edy mengatakan, tahun pertama pelaksanaan dana desa akan dijadikan masa transisi atau pembelajaran. Lukman mengatakan, masa tersebut dimaksudkan agar setiap desa bisa beradaptasi dalam mengelola dana tersebut.
"Tahun pertama ini kita anggap tahun transisi. Kemarin kita usulkan supaya ada aturan peralihan di PP 43 tentang masa transisi itu," kata Lukman dalam diskusi bertajuk Dialog Pilar Negara bertema Dana Desa di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/5).
Lukman mengatakan, ada beberapa hal yang harus dipelajari oleh para kepala dan pengelola anggaran desa agar tidak terjadi penyimpangan dalam mengelola dana desa. Salah satunya, adalah penggunaan teknologi untuk memantau pertanggungjawaban dana tersebut.
"Kesulitannya, teknologi di desa apa bisa. Walaupun SDM di desa belum sanggup tapi mau tidak mau harus dimulai," ujarnya.
Selain itu, Lukman mengatakan, perencanaan di tingkat desa yang masih sangat kurang menjadi semacam kelemahan dalam pengolaan dana desa. Ketua Panja Pengawasan Dana Desa itu menyebutkan, dalam hasil penelitian mahasiswa IPB, 75 persen dari RKPDes dan APBDes merupakan hasil salinan atau copy paste (copas).
"Soal perencanaan itu bagian masa transisi juga. Tahun pertama masih copas, tahun depan harus berdasarkan hasil rapat, butuhnya apa. Pendampingan itu wajib," kata Lukman.
Sementara itu, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis mengaku setuju dengan usulan masa transisi atau percobaan tersebut. Menurutnya, tahun 2015-2017 perlu dijadikan periode pembelajaran. Pada periode itu, lanjut Lukman, pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri harus mematangkan pengetahuan kepala dan perangkat desa dalam mengelola dana desa.
Jangan sampai, lanjutnya, ketidakmengertian perangkat desa menyebabkan mereka harus dipenjara. "Menurut saya, dari segi social legal tidak masuk akal, bikin UU yang dengan UU itu buat orang jadi terpenjara. Komisi II perlu bicara dengan presiden dan presiden bicara pada kepolisian dan kejagung untuk tidak menindak kekeliruan-kekeliruan yang terjadi di desa dalam rangka pengelolaan keuangan negara," kata Margarito.
Menurut Margarito, dengan adanya masa transisi, seluruh tindakan penyimpangan termasuk penyimpangan keuangan belum perlu dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Kepastian dari pemerintah, khususnya aparat penegak hukum untuk tidak serta merta mengkualifikasi penyimpangan yang dilakukan perangkat pengelola dana desa sebagai tindak pidana korupsi, lanjutnya, sangat penting diberikan.
"Saya tidak bisa bayangkan betapa kacaunya dan itu bisa mencabik-cabik keharmonisan sosial di desa. Konflik fisik terbuka akan terjadi pada batasan tertentu. Tentu kita semua tidak ingin hal seperti itu,"
ujarnya.
"Sarjana aja belum tentu bisa mengelola dana sebesar itu. Ini orang desa, Anda suruh kelola dana itu persis seperti pengelolaan anggaran negara. Jangan dibayangkan Ketua RT RW itu seperti kita di kota ini,"
kata Margarito.