REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah 17 tahun reformasi, keberpihakan pada rakyat miskin masih minim. Hal itu tampak pada kebijakan, sistem, dan perundang-undangan. Demikian dikatakan Zulkifli Hasan saat memberi sambutan pada ulang tahun ke 70 bersamaan dengan orasi kebudayaan H.S Dillon di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Senin (18/5).
Menurut Zulkifli, tantangan terberat Indonesia adalah kemiskinan. Namun, lanjut Zulkifli, pendekatan kepada rakyat miskin adalah pendekatan dhuafa, pendekatan dengan bantuan. Bukan pada sistem dan perundang-undangan. Padahal dalam UUD disebutkan kekayaan negara untuk kemakmuran rakyat.
Zulkifli memberi contoh UU otonomi daerah, dan masih banyak UU lainnya. Menurutnya, tantangan berat ada pada kebijakan yang bermuara pada soal-soal politik. "Ini nyata dan terjadi dimana-mana," katanya.
HS Dillon, terakhir menjabat utusan khusus presiden untuk kemiskinan, menyampaikan orasi dengan judul "Kemiskinan - Kesenjangan: Perbuatan atau Pembiaran". Dalam uraiannya Dillon mengatakan Indonesia yang kaya raya ini tidak sepatutnya masih banyak rakyat miskin dan kesenjangan yang semakin meningkat. Dillon menggambarkan tiga fenomena dalam masyarakat Indonesia yang disebutnya sebagai paradok pembangunan.
Pertama, kemiskinan meningkat tajam di tengah masyarakat yang kaya. Kedua, di tengah-tengah kekayaan yang melimpah, semakin kecil kepedulian. Ketiga, kebutuhan tenaga kerja sangat besar, namun pengangguran terus meningkat. Menurut dia, tujuh kali pemerintahan belum mampu mengentaskan.
"Ini karena kita telah terperangkap dalam paham pembangunan kolonialisme yang ekstraktif dan feodal. Ada tiga sikap pembiaran, yaitu acuh pada saat melihat kekeliruan atau kejahatan, acuh karena kita terlibat konspirasi jahat, dan acuh karena keilmuan kita telah terbeli," papar Dillon.