REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Zulkifli Hasan menghadiri peringatan dua tahun wafatnya HM Taufiq Kiemas, Ketua MPR Periode 2009-2014. Menurut Zulkifli, Taufiq Kiemas adalah seorang tokoh yang selalu risau. Taufiq ingin memutus rantai dendam.
Karena itulah Taufiq mendukung penuh kehadiran Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang terdiri dari putra-putri para pelaku PRRI/Permesta, DII/TII dan G-30-S/PKI 1965 serta eksponen 66. Di mata Taufiq, kata Zulkifli tujuan forum ini adalah memutus mata rantai dendam di masa lalu yang telah menciderai dan memorakporandakan persatuan dan kesatuan bangsa ini.
Menurut Zulkifli, kehadiran FSAB ini merupakan contoh rekonsiliasi nasional dengan menghapuskan dendam dan membuka lembaran baru yang penuh kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan. Selain itu, menurut Zulkifli, Taufiq memahami Pasal 1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 sebagai tanggung jawab semua lembaga Negara dalam penyelenggaraan Negara dalam bentuk tanggung renteng atau dipikul bersama.
Kedaulatan rakyat itu terwujud dalam diri lembaga-lembaga Negara berdasarkan undang-undang dasar dalam kerangka checks and balances tanpa saling intervensi. Taufiq mendorong dan menjadi motor bagi hadirnya Forum Konsultasi Lembaga-lembaga Negara yang terdiri atas Presiden/Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, KY dan BPK. Zulkifli menegaskan, banyak keteladanan Taufiq Kiemas yang diwariskan kepada bangsa Indonesia. Tidak cukup sehari dua hari membahasnya. Menurut Zulkifli, Taufik Kiemas adalah mata air keteladanan bagi bangsa yang tidak pernah kering.
Zulkifli juga memuji Taufiq sebagai sosok yang memahami demokrasi yang dibangun oleh para pendiri negara didasarkan pada musyawarah/mufakat. "Karena itu Pak Taufiq tidak setuju adanya oposisi di Indonesia seperti di Negara federal. Pak Taufiq memilih posisi penyeimbang. Beliau menghindari pengambilan keputusan berdasarkan pemungutan suara. Semua harus melalui musyawarah/mufakat. Tak soal seberapa lama kesepakatan itu akan dicapai. Ini tercermin dalam kepemimpinan beliau yang meminta persetujuan dan tanda tanngan semua Pimpinan MPR dalam pengambilan keputusan dan surat menyurat," kata dia.
Menurut Zulkifli, kerisauan Taufiq yang paling besar adalah mulai kurangnya pengenalan dan pemahaman masyarakat akan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, sebagai fundamental norm, yang menjadi falsafah hidup bangsa. Tidak ada gunanya bicara tentang Undang-undang dasar apabila melupakan Pancasila. Karena Pancasila itu menjiwai UUD NRI Tahun 1945.
Pancasila itu pula yang memberi makna bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila itu pula yang memberi warna bagi kebhinnekatunggalikaan. "Pak Taufiq kemudian memberi nama Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan bernegara. Ini dilanjutkan oleh MPR periode 2014-2019 dengan nama Empat Pilar MPR," kata dia.
Bagi Taufiq, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika adalah kontrak sosial yang telah disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika UUD 1945 disahkan. Sebagai bangsa yang besar, terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, budaya, bahasa yang sudah ada di persada nusantara, tidak ada dalih atau alasan apapun untuk menolak keanekaragaman atau pluralisme.
"Karena itu, sejak terpilih menjadi ketua MPR, Pak Taufiq memandang perlu memantapkan kembali empat pilar itu. Menurut Pak Taufiq, pemahaman kembali makna empat pilar itu merupakan satu langkah awal dalam memantapkan bangsa menuju persatuan dan kesatuan bangsa," kata dia.