REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tak ada dikotomi dalam konstitusi Indonesia soal iman dan pengetahuan. Iman dijunjung sebagai pijakan pengetahuan.
Mengawali seminar bertajuk 'Peran Perguruan Tinggi dalam Penguatan Pemikiran Islam Moderat' di Universitas Al-Azhar Indonesia, Senin (14/7), Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menjelaskan, Indonesia tidak hanya besar populasi Muslimnya, tapi juga terbanyak pesantren, sekolah, dan perguruan tinggi Islamnya di dunia. Di sisi lain, masih ada tugas untuk menjadikan yang terbanyak ini juga terbaik.
Dalam konstitusi Indonesia, pendidikan tidak didikotomi dan sekuleristik. Hanya di Indonesia yang sekolahnya bisa menyatukan agama dan pengetahuan. Bahwa Indonesia menyelenggarakan pendidikan untuk membentuk manusia bertakwa, baru kemudian mencerdaskan kehidupan bangsa. ''Kecerdasan jadi fase lanjutan setelah ketakwaan,'' kata Hidayat.
Juga dalam konstitusi Indonesia, pada Undang-Undang Dasar pasal 31, Indonesia mendorong kemajuan iptek dengan menjunjung tinggi nilai agama. Hanya di Indonesia juga 20 persen APBN untuk pendidikan.
''Iman dan pengetuan tidak saling menegasi, tapi saling mendukung,'' ungkap Hidayat. Karena itu, ia mengapresiasi program 5.000 doktor ilmu Islam oleh Kementerian Agama dan rencana pendirian Universitas Islam Internasional di Indonesia.
Hidayat juga mengapresiasi insiatif Rabitah Alam Al-Islami untuk melahirkan SDM moderat yang tidak anti iptek tanpa jadi atheis dan menjauhi agama.