REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak seperti kebanyakan pejabat Indonesia, Wali Kota Monte Argentario, Italia, Arturo Cerulli, merupakan pribadi yang hangat. Ia mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya, dan tidak menjaga jarak.
Penampilannya sangat sederhana. Ia hanya memakai baju lengan pendek untuk menutupi perutnya yang mulai membuncit, tanpa memakai aksesoris apa pun. Rambutnya yang sudah memutih semakin menambah kesan sebagai orang yang bijak. Hal itu menguatkan pesan, ia sepertinya bukan seorang pejabat.
Kepada wartawan, ia dengan gamblang menceritakan perjalanan hidupnya hingga terdampar bekerja di Indonesia. Tepatnya, ia menjadi staf di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Serpong, atas undangan BJ Habibie yang mau menampung seluruh ilmuwan terbaik dunia untuk bekerja di Indonesia.
Satu yang mencolok dari pria yang menjadi mualaf pada 1988 ini, adalah tiadanya ajudan, pengawal, atau staf pribadi yang turut mendampanginya ke Indonesia. Ia menempuh perjalanan lintas benua hanya ditemani istri dan buah hatinya. Sebuah hal yang bertolak belakang dengan pejabat di Tanah Air yang gemar membawa rombongan ketika melakukan kunjungaan ke luar negeri.
Cerulli yang terpilih sebagai wali kota untuk periode kedua (2013-2018) karena memenangkan pemilihan pada Mei 2013 ini dikenal sebagai pejabat yang gencar mengkampanyekan penghijauan. Pengelolaan tata kota dan kebijakan yang pro publik, dan sukses menjual potensi pantai sebagai pariwisata unggulan Monte Argentario membuatnya dicintai oleh 14 ribu penduduk yang mendiami kota itu.
Kehadiran Cerulli di Indonesia sebenarnya untuk melakukan lawatan ke keluarga istrinya, Sri Semiarti Sastropawiro, yang merupakan orang pribumi asli. Karena jadwalnya bertepatan dengan acara peluncuran buku 'Scappa per Amore: Mozaik Perjalanan Cinta di Benua Biru', ia memutuskan bisa hadir untuk memberi testimoni karya traveller Dini Fitri.
"Tantangan suami saya sekarang bertambah berat, karena di Italia mengalami resesi ekonomi luar biasa. Pariwisata menurun, lapangan pekerjaan susah didapat, dan pengangguran meningkat," kata sang istri, Sri Semiarti Sastropawiro.
Gara-gara suramnya perekonomian di Negeri Pizza, tokonya yang menjual beragam produk khas Indonesia, seperti ukiran Jepara harus ditutup lantaran sepi pembeli. "Keadaan di sana sedang krisis. Ini tantangan berat suami saya di periode kepemimpinan keduanya," ujarnya.