REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menkumham Amir Syamsuddin mengatakan salah satu faktor kapasitas berlebih dalam lapas adalah jumlah narapidana yang tercampur. Terutama tahanan kasus narkoba yang jauh lebih banyak dibandingkan kasus lain. Padahal, tidak semua narapidana kasus narkoba perlu ditempatkan di dalam penjara, melainkan di tempat rehabilitasi.
Ia pun mengaku sudah berkomunikasi dengan BNN untuk melibatkan Kemenkes terkait persoalan tersebut. "Saya sudah komunikasi dengan Menkes dan BNN untuk buka sel rehabilitasi. Selama ini rehabilitasi tugas umum BNN. Saya kira itu sangat menolong," kata Amir, Jumat (19/7).
Menurutnya akan menolong jika ada perbedaan antara narapidana yang seharusnya dirawat atau direhabilitasi dengan narapidana yang dihukum berat atau dihukum mati. Karena, campur baurnya narapidana menandakan indikasi yang kurang sehat.
"Narapidana jumlahnya 117 ribu, sebanyak 56 ribu narkotika. Semua tercampur di sana. Kalau asumsinya bandar seperti di Batam, 1.600 napi narkoba yang dikategorikan pengedar dan bandar adalah 49 orang. Jadi bisa dibayangkan, pengedar dan pemakai beda tipis," lanjutnya.
Tak hanya soal komposisi, lapas di Indonesia juga bermasalah dalam hal desain dan bentuk bangunan. Setiap lapas memiliki desain yang berbeda. Seperti yang ada di Lapas Tanjung Gusta, Medan. Akibatnya, kantor administrasi yang berdekatan dengan sel menjadi sasaran narapidana. Ia pun mengusulkan agar desain lapas perlu dikaji ulang agar peristiwa serupa tidak terjadi.
Amir menyebut lapas Krobokan, Bali pada saat terjadi kerusuhan. Di sana, narapidana tidak bisa terlalu dekat kantor adminsitrasi. "Ini berbeda dengan di Tanjung Gusta. Sekat blok hunian dan kantor agak lemah. Pagar kurang tinggi," ujarnya.