REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Puluhan orang diduga tertimbun longsor di lokasi penambangan emas di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku pada Selasa (16/7). Namun hingga kini belum ada upaya pencarian oleh pemerintah daerah.
"Baik Pemkab Buru maupun regu penyelamat tidak pernah berurusan dengan upaya pencarian korban longsor atau tewas akibat menghirup gas beracun, dan seharusnya yang paling bertanggung jawab adalah dewan adat," kata ahli waris lahan Gunung Botak, Ibrahim Wael di Ambon, Senin.
Dewan Adat yang dibentuk segelintir orang di Pulau Buru ini hanya lebih mementingkan keuntungan pribadi karena melakukan penjualan karcis masuk ke lokasi tambang seharga Rp 750.000 per orang. Keuntungan yang didapatkan juga mencapai miliaran rupiah karena jumlah penambang yang masuk mencapai lebih dari 24.000 orang.
Ibrahim mengatakan, bencana longsor yang terjadi pada Selasa (16/7) lalu juga terdengar dua bunyi ledakan besar. Puluhan orang yang berada di dalam lubang galian tertutup sementara mereka yang berada dalam tenda-tenda juga ikut terperosok.
"Ketika bencana ini terjadi, para penambang yang selamat hanya berhasil mengevakuasi empat orang yang tewas, dua penambang berasal dari Manado (Sulut) dan dua lainnya dari Ternate, Provinsi Maluku Utara," katanya.
Kematian para penambang emas di Gungung Botak dalam jumlah massal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, baik karena bencana tanah longsor dan gas beracun maupun akibat terjadi bentrokan di antara mereka, namun pemerintah tidak pernah melakukan pencarian.
Langkah tegas yang pernah diambil Pemprov Maluku adalah mengeluarkan surat keputusan melarang kegiatan apapun di lokasi Gunung Botak dan menutup kawasan itu sejak bentrok antarpenambang akhir Desember 2012 lalu.
"Sayangnya awal 2013, sekelompok oknum yang menamakan dirinya dewan adat Buru kembali membuka lokasi itu, sehingga mereka harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa puluhan hingga ratusan orang di Gunung Botak," kata Ibrahim.