REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Menjelang Hari Raya Lebaran, para karyawan/buruh dari berbagai perusahaan berhak menerima THR. Namun, untuk menghindari pengeluran berlebih hanya untuk dana tersebut, perusahaan umumnya melakukan 10 modus sebagai berikut.
Pertama, alasan pekerja merupakan pegawai harian lepas atau outsourching, sehingga tidak ada kewajiban mendapat tunjangan terkait status kerjannya. Kedua, perusahaan berdalih sedang mengalami defisit dan tidak mampu membayarkan THR.
Ketiga adalah pekerja yang umumnya sedang terlibat perselisihan dan proses PHK oleh perushaan. Keempat yakni modus pemberhentian kerja sebelum memasuki bulan puasa, dan perekrutan kembali setelah lebaran.
Kelima, THR diberikan tapi dalam bentuk barang yang jumlahnya tidak sesuai nominal aturan ketenagakerjaan. Keenam, meski pada akhirnya dibayarkan, namun sudah dianggap terlambat, itu pun dengan desakan mogok dan unjuk rasa.
Ketujuh adalah pembayaran dengan cara dicicil. Kedelapan, ada pemotongan THR lantaran tidak masuk kerja tanpa keterangan. Kesembilan, besaran nilai THR yang lebih, dikurangi sepihak. Dan terakhir, mereka yang melaporkan penunggakan pembayaran THR terancam dipecat.
Kordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia, Jamalludin mengatakan, modus tersebut didapat berdasarkan aduan para pekerja yang mendapat perlakukan tidak adil terkait THR. Dan modus yang digunakan oleh perusahaan selama puluhan tahun terakhir ini selalu sama.
"Untuk masalah THR, seharusnya pemerintah memberikan sanksi tegas ke perusahaan, bukan hanya surat edaran ataupun ancaman yang dinilai tidak mempengaruhi kinerja produksinya," kata Jamalludin.
Sebelumnya, sekitar 3.750 buruh Jawa Timur dipecat oleh perusahaannya demi menghindari pembayaran THR. Ada tujuh perusahaan besar dengan total omset miliyaran rupiah per bulan yang diduga melakukan pelanggaran tersebut. Dan jumlah itu terus meningkat di banding tahun sebelumnya yang hanya 20.493 orang dari 39 perusahaan.