REPUBLIKA.CO.ID,Langkah kami terhenti sejenak. "Serem tempatnya," kalimat itu yang pertama kali meluncur dari bibir Adhi Wicaksono saat kami tiba di peninggalan lain Keluarga Van Motman. Di lokasi ini, bersemayam hampir seluruh keluarga Van Motman yang secara turun-temurun menjadi tuan tanah Buitenzorg. Setidaknya, ada 36 anggota keluarga Van Motman yang dimakamkan di sini.
Kompleks makam ini dikenal masyarakat sekitar dengan nama Makam Pilar, sebuah nama yang tak terlepas dari dominasi bangunan pilar yang merupakan nisan bagi para penghuninya. Kompleks Makam Pilar ini berada di Desa Sibanteng, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Jaraknya tak lebih 20 kilometer dari Dramaga.
Kompleks Makam Pilar terlihat usang. Padahal, lokasi ini sudah dijadikan cagar budaya oleh pemerintah setempat sejak 2010. Semua sisa-sisa lahan makam tak berbentuk, bangunan di dalamnya pun hampir runtuh, entah termakan usia atau oleh tangan-tangan jahil.
Memasuki kompleks makam ini, kami lebih dulu melewati gapura yang dulunya mungkin merupakan gerbang pintu masuk. Saat ini gapura pun sudah tak berbentuk. Hanya ada dua tembok di sisi kiri dan kanan berjarak dua meter yang kini sudah dihiasi rumput-rumput liar.
Kompleks makam tak lebih dari 600 meter persegi yang semuanya sudah ditumbuhi alang-alang dan tanaman merambat. Padahal, dulunya kompleks makam ini berluas lebih dari 3.000 meter persegi. Sebagian sejarawan meyakini, di sini juga didirikan satu landhuis.
Saya hitung ada 13 pilar besar dengan masing-masing jarak dua meter. Sejatinya pilar ini adalah batu nisan bertuliskan nama jasad yang bersemayam. Kendati begitu, tak ada satu huruf pun tertulis di situ. Semua pilar saat ini tak lebih dari bongkahan batu dan semen yang dibuat setinggi satu setengah meter. Pagar hitam yang dulu melingkari pilar serta patung ukir di atasnya, sekarang pun raib tak berbekas.
Cerita dari mulut ke mulut warga setempat, pilar itu dulunya berlapis dan memiliki penunjuk nama yang terbuat dari marmer. Namun, marmer itu telah hilang akibat pencurian dan penjarahan beberapa kelompok masyarakat pada kisaran 1970. Diketahui pula, sebelumnya kompleks makam ini tak lagi bertuan saat keluarga keturunan terakhir Van Motman meninggalkan Indonesia pada 1953.
Di kompleks Makam Pilar, perhatian saya tertuju pada bangunan tua yang tak kalah tragis kondisinya. Bangunan yang berada di dalam area makam itu yang membuat lokasi ini juga dikenal dengan nama Mausoleum Van Motman.
Bangunan tua ini mirip gereja mini dengan model berbentuk huruf T. Di dalam bangunan inilah pernah terbaring empat jenazah anggota keluarga Van Motman yang dimumikan. Bangunan setinggi 12 meter dengan luas 40 meter persegi itu bertuliskan di pintu masuk: "FAM: P.R. v MOTMAN". "P.R" sendiri merujuk pada nama Pieter Reinier van Motman (1850-1911). Pieter Reinier merupakan tuan tanah ketiga wilayah Dramaga dalam catatan sejarah Keluarga Van Motman.
Saya tak percaya sebelumnya jika pernah ada mumi di Bogor. Namun, cerita dari Haji Ucu Sumarna (60 tahun) menepiskan semua keraguan. Ucu, yang tampil dengan baju koko krem dan peci putih saat itu, mempersilakan saya masuk dan melihat kondisi di dalam bangunan. Sama dengan kondisi di luar: rusak dan tak terawat. Bagian tembok sudah kehilangan kebersihannya, bangunan jendela pada bagian atas kini tinggal menyisakan rangka kayunya.
Empat jenazah, kata Ucu, dibaringkan di sisi kanan dan kiri ruangan yang masing-masing sisinya dibuat bertingkat untuk dua jenazah. Dulu, sebelum tahun 1970, ungkap dia, dua tempat di sisi kanan dan kiri ini dibuat dari kaca pada bagian atas dan ditembok pada bagian bawahnya.
Ucu adalah penjaga kompleks makam yang ditugaskan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bogor sejak 2010. Ia adalah anak dari Haji Sumatera, penjaga makam yang sempat bertugas di bawah perintah keturunan keluarga Van Motman hingga 1953.
"Mumi orang Van Motman juga bisa ditarik keluar seperti laci jika ada anggota keluarga yang ingin memberikan salam," katanya. Kondisi sekarang ini, cuma ada ruang kosong di sisi kanan dan kiri yang saya ukur sebanding dengan ukuran dua peti jenazah. Lantas, ke mana empat jenazah itu?
Dari nama yang tertera di pintu masuk itu, saya cuma bisa menduga bahwa mumi Pieter Renier van Motmanlah yang pernah menghuni mausoleum ini. Satu lagi datang dari dugaan Hendra M Astari. Pencinta sejarah Bogor itu pernah menyebut bahwa Petrus Cornelis van Motman juga menjadi jenazah yang dimumikan. Petrus Cornelis, dalam catatan Hendra, meninggal pada 8 Oktober 1902 dalam usia 82 tahun di Dramaga.
"Saya juga tidak tahu. Yang orang sini yakin, itu makamnya Tuan Dramaga Pertama," kata Ucu sembari menunjuk satu gundukan tanah di luar bangunan, tak jauh dari tempat saya berdiri. Tuan Dramaga pertama yang dimaksud Ucu adalah Gerrit Willem Casimir van Motman, nenek moyang dari semua keluarga Van Motman di sini.
Makam itu memang tak seperti makam-makam lainnya. Bentuknya lebih besar, menandakan sosok berbeda dimakamkan di sana. Mungkin saja saya bisa yakin akan informasi itu. Sebab, dalam dokumen yang diberikan Antoni Holle, salah satu keturunan Van Motman, diterangkan bahwa GWC meninggal pada tanggal 25 Mei 1821 di Dramaga, dan namanya ada dalam 37 nama anggota Van Motman yang disemayamkan di Makam Pilar ini.
Ucu Sumarna menceritakan, kondisi rusak dan terbengkalai mausoleum ini tidak lepas dari aksi penjarahan. Sekitar 1970-an, kompleks makam ini dijarah dan dipreteli bagian-bagian berharganya. Ucu yang saat itu masih muda melihat warga kampung tak jauh dari Desa Sibantenglah para pelakunya. Bagian yang dijarah salah satunya adalah marmer yang melapisi semua pilar, termasuk nisan makam. Patung-patung khas arsitektur Eropa yang menancap di atas pilar juga menjadi korban penjarahan.
"Saya saat itu tak bisa berbuat apa-apa," kata Ucu yang saat itu melihat keberingasan banyak orang yang datang menjarah. Kompleks makam saat itu masih dijaga sang ayah, H Sumatera, yang saat ini telah wafat. Konon, bagian yang dijarah adalah cincin, ikat pinggang, serta gigi emas yang disemayamkan bersama dengan jenazah.
Ketika saya mengonfirmasi cerita tersebut, Antonio Holle mengaku pernah mendengarnya dari warga sekitar. Namun baginya, yang terpenting saat ini adalah menutup lembaran kelam itu. "Saatnya kami bersama keluarga, pemerintah setempat, membangun kembali sejarah yang hampir tenggelam," ujarnya.