Selasa 30 Jul 2013 06:05 WIB

Ciliwung, Keindahan Mu Sebatas Dongeng Pengantar Tidur

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Mansyur Faqih
Warga beraktivitas di kawasan permukiman pinggiran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta Selatan, Selasa (31/1). (Aditya Pradana Putra)
Warga beraktivitas di kawasan permukiman pinggiran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta Selatan, Selasa (31/1). (Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sungai Ciliwung yang mengalir dari Gunung Pangrango hingga ke Jakarta, dulu pernah menjadi sumber kehidupan warga yang tinggal di sepanjang alirannya. Sebab, Ciliwung menjadi sumber air minum penduduk. Kala itu, air sungai yang memiliki panjang hampir 120 kilometer tersebut masih jernih. 

Sungai ini juga dulunya relatif lebar. Bahkan, di bagian hilirnya, dapat dilayari perahu kecil pengangkut barang dagangan. Dulu, Ciliwung juga pernah menjadi tempat wisata. Noni-noni Belanda, kabarnya gemar piknik di pinggir sungai sambil duduk di bawah rindangnya pepohonan. Namun, kondisi Ciliwung kini tidak sama lagi seperti puluhan tahun lalu. Di Jakarta, Ciliwung kini lebih dikenal sebagai sungai kecil yang disesaki oleh rumah-rumah kumuh di sisi kanan dan kirinya. 

Komunitas Ciliwung Condet yang telah melakukan Jelajah Taman Keanekaragaman Hayati Ciliwung pada 21-24 Juni 2013, menemukan fakta, kondisi sungai ini kian hari semakin memprihatinkan. Selain karena airnya yang sudah banyak tercemar limbah, lahan sungai Ciliwung juga banyak dijarah warga. 

Ketua Tim Jelajah Ciliwung, Erwandi Elang mengatakan, lahan sungai ini sudah banyak beralih fungsi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta. Dia mencontohkan, di Depok, hutan yang sebelumnya berada di pinggir sungai kini sudah mulai menjelma menjadi lahan perumahan. "Kalau dari daerah Bojong Gede sampai Cibinong masih banyak hutan bambu. Tapi kalau dari Green Depok City sampai Jembatan UI sudah banyak yang berubah jadi perumahan," ujar dia. 

Parahnya, lanjut Elang, perumahan tersebut dibangun tidak mengikuti aturan garis sepadan sungai yang mengharuskan bangunan harus berjarak minimal 20 meter dari sungai. Menurut dia, perumahan-perumahan tersebut hanya berjarak sekitar lima meter saja dari sungai. Bahkan, menurut Elang, ada juga perumahan yang tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). "Harusnya rumah-rumah itu digusur dan dijadikan jalur hijau. Supaya Ciliwung bisa menjadi tempat rekreasi warga, ada hutannya, ada jogging track," katanya lagi. 

Selain itu, lanjut dia, sejumlah pabrik tempe dan tahu yang berada di pinggir sungai juga langsung membuang limbahnya ke aliran air. Padahal seharusnya pabrik tersebut membuat industri pengolahan air limbah (IPAL) di sana. Jika tidak, maka air sungai yang kotor tersebut akan semakin tercemar. "Pemerintah harusnya melakukan patroli sungai. Supaya tahu masalah sebenarnya," ujar dia.

Elang melanjutkan, banyaknya aliran toilet warga yang langsung dibuang ke sungai juga telah membuat ikan-ikan yang hidup di sungai menjadi mandul alias tidak bisa berkembang biak. Sebab, kata dia, air seni manusia yang mengandung obat-obatan dapat mengganggu pertumbuhan ikan. Karenanya, dia meminta agar pemerintah memerhatikan kondisi Ciliwung. 

Pemerintah, kata dia, harusnya bisa menindak tegas pengembang yang melanggar aturan membangun rumah di pinggir sungai serta pabrik-pabrik yang membuang limbahnya ke sungai. Sebab Komunitas Ciliwung Condet hanya bisa melakukan advokasi, tetapi pemerintah yang mengeksekusi. "Kalau kondisi seperti ini dibiarkan, anak cucu kita tidak bisa merasakan keindahan Ciliwung. Itu hanya akan jadi dongeng pengantar tidur," tutupnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement