REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Penjajakan rekonsiliasi antarfaksi di Mesir memasuki babak baru. Delegasi rekonsiliasi dari Uni Eropa Catherine Ashton menjumpai mantan presiden Mesir Muhammad Mursi.
Dunia internasional berharap pertemuan Uni Eropa dengan Mursi akan memberi dampak baik dalam perkembangan politik di negeri Piramida tersebut.
''(Mantan) presiden Mursi dalam keadaan baik-baik saja. Saya memastikan itu kepada keluarga yang tidak bisa ditemuinya,'' kata Ashton dalam konfrensi persnya di Ibu Kota Kairo, Selasa (30/7) waktu setempat.
Kepala Kebijakan Uni Eropa ini adalah penjenguk pertama sejak Mursi dikudeta, Rabu (3/7) lalu. Sayangnya, diplomat senior dari Partai Buruh Inggris ini tidak menghendaki pembicaraan empat mata selama 90 menit bersama Mursi itu diketahui publik.
Bahkan, Ashton menolak memberitahu lokasi pertemuan. Tapi kata dia, pembicaraan keduanya akan memberi kesimpulan tentang massa depan politik negeri tersebut.
''Saya katakan, tidak akan menyampaikan percakapan kami (untuk sementara),'' ujar perempuan 57 tahun ini.
Sejak dijebloskan ke penjara, ujar Ashton, Mursi tidak buta informasi. ''Kita (bersama Mursi) mampu berbicara panjang lebar tentang situasi terkini. Mursi punya akses ke semua informasi, termasuk menonton berita televisi dan membaca koran,'' kata Ashton.
Pengakuan Ashton tersebut membantah anggapan kesengsaraan Mursi dalam kerangkeng militer. Al Jazeera melaporkan pertumpahan darah semakin meningkatkan kekhawatiran internasional atas situasi di Mesir.
Uni Eropa mengambil peran utama, setelah Liga Arab dan Amerika Serikat (AS) hanya bereaksi dengan retorika. Kehadiran Ashton diharapkan membuka konsensi politik baru.
Ashton juga bertemu dengan Presiden interim Adly Mansour dan Wapres interim Mohamed el-Baradei, saat Senin (29/7). Pertemuan serupa juga dia lakukan bersama ''Juru Kudeta'' Panglima Militer Jenderal Abdel Fattah el-Sisi.