REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Industri kelapa sawit di Indonesia masih sulit berkembang karena mendapat kampanye negatif di luar negeri dan belum ada dukungan yang serius dari pemerintah.
Juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Tofan Mahdi, mengemukakan hal itu saat buka bersama dengan wartawan di Makassar, Rabu (31/7).
Tofan mengatakan, minyak sawit mentah (CPO) merupakan satu-satunya industri yang terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi 26 juta ton per tahun.
"Kalau dibandingkan Malaysia, negara ini hanya memproduksi CPO 18 juta ton per tahun. Sumbangan kelapa sawit terhadap APBN kita mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp200 triliun per tahun," katanya.
Kalau melihat neraca APBN, ujar dia, sebenarnya masuk kategori defisit, sedangkan yang surplus adalah pertanian dan perkebunan yang 90 persen disumbang oleh minyak kelapa sawit.
Dia mengatakan, industri kelapa sawit ujiannya besar, dari luar negeri menghadapi kampanye negatif, isunya bermacam macam mulai dari kesehatan hingga makanan.
"Ada yang mengatakan makanan yang digoreng dari minyak sawit katanya ndak sehat, kemudian ada laboratorium kesehatan yang merekomendasikan melarang pasiennya menggunakan makanan yang berasal dari sawit," katanya.
Dia mengatakan sebenarnya penyebab pemanasan global dari negara maju seperti dikatakan para pakar bukan dari kelapa sawit.
"Kampanye negatif negara maju belum selesai, mereka kini mensyaratkan pemasangan stiker bagi industri kelapa sawit yang ingin memasarkan produknya ke luar negeri. Repotnya stiker tersebut dikeluarkan negara tujuan," katanya.
Dia mengatakan pemasang stiker tersebut adalah India, China, 27 negara Eropa dan Pakistan.
"Amerika Serikat merupakan konsumen kecil tetapi sangat berpengaruh. Amerika Serikat memvonis CPO tidak ramah lingkungan, biofuel bisa untuk memproduksi apa saja kecuali minyak sawit," katanya.