REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pemerintah sementara Mesir secara resmi memerintahkan polisi untuk membubarkan demonstran pro-Mursi. Polisi juga harus mengambil langkah-langkah bertahap untuk membubarkan kerumunan.
Mendengar hal tersebut, pengunjuk rasa mempersenjatai diri dengan tongkat dan helm. Tak hanya itu, ribuan massa juga bersembunyi di belakang gundukan pasir dan melakukan penjagaan berkala. Rabu (31/7), Pemerintah sementara mengeluarkan sinyal keras untuk kembali melakukan penindakan. Kabinet meminta polisi untuk membubarkan aksi duduk kelompok pendukung Mursi.
Pemerintah menegaskan mereka, kelompok Mursi telah menimbulkan ancaman yang tak bisa lagi menerima keamanan nasional. Apalagi, pemerintah sementara, dikutip dari Al Jazeera kemudian, mengatakan polisi harus mengambil setiap langkah yang diperlukan untuk membubarkan keamanan.
Namun Menteri Dalam Negeri Mohammed Ibrahim, kemudian mengklarifikasi dengan mengatakan penugasan ini dilakukan dalam langkah yang bertahap sesuai petunjuk pengadilan. ''saya berharap mereka segera pindah sebelum aparat datang,'' tutur dia ketika dihubungi, Kamis (1/8).
Juru Bicara Partai Kebebasan dan Keadilan, Ahmed Sobaei mengatakan keputusan kabinet itu seperti membuka jalan bagi pembantaian selanjutnya di Mesir. Polisi menurut dia saat ini sedang bersiap untuk kembali membantai rakyat yang tak bersalah. Padahal mereka akan menyerang warga sipil tak bersenjata yang berusaha melakukan aksi duduk demi legitimasi.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Marie Hard, mengimbau pemerintah yang dipimpin militer untuk menghindari kekerasan. Ia meminta pejabat pemerintah sementara dan pasukan keamanan menghormati hak berkumpul secara damai. ''Itu jelas termasuk aksi duduk,'' ucap dia, Kamis (1/8).
Sejauh ini massa pro Mursi masih melakukan aksi duduk di luar masjid Rabiah Al Adawiya di Kairo Timur dan di dekat Universitas Kairo. Sementara Ikhwanul Muslimin sampai saat ini menolak bekerja sama dengan pemimpin sementara yang mereka sebut pengkhianat.