Kamis 08 Aug 2013 23:59 WIB

Lebaran Sendu dan Kelam dari Kota Gaza

Rep: Stevy Maradona / Red: Mansyur Faqih
Muslim Palestina (Ilustrasi)
Foto: Anadolu Agency
Muslim Palestina (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KOTA GAZA -- Ramadhan 1434 menjadi bulan sendu bagi Um Mohammed Hijazi (44 tahun). Ia kini sebatang kara karena ditinggal suami dan anaknya yang tewas dalam serangan Israel November 2012. Hijazi tak bisa menikmati Ramadhan laiknya ibu lain di Jalur Gaza yang sibuk belanja. Ibu beranak enam ini hanya bisa berdiam diri berlama-lama di kamar tidurnya di kamp pengungsi Jabaliya.

Idul Fitri tahun ini, bagi dia, tidak membawa kebahagiaan. Sebaliknya justru membawa kemuraman. Inilah Lebaran pertama Hijazi tanpa keluarga lengkap. Suaminya Fouad dan dua putranya Mohammed dan Suhaib jadi korban misil Israel akhir tahun lalu. Dalam serangan itu total korban jiwa warga Gaza mencapai 170 orang. "Lebaran kali ini sangat berat bagi kami," kata Hijazi dengan terbata-bata seperti dilaporkan world bulletin.

Ia masih trauma dengan kejadian tersebut. Apalagi Hijazi kini sebatang kara menghidupi empat anaknya. "Anak-anak rindu bapak dan kakaknya. Lebaran begini mereka biasanya membangunkan suami saya dan meminta hadiah Lebaran," kata Hijazi dengan nada getir.

Ia lalu pelan-pelan membuka kisah hidupnya yang memang penuh lapisan luka. Pada 2008, Hijazi kehilangan anak pertamanya, juga akibat misil Israel. Ketika itu ia masih mengandung. Saat lahir, ia mengambil nama putra pertamanya Muhammad bagi si bayi.

Tapi kehilangan suami dan dua putranya kali ini betul-betul pukulan telak. "Ini seperti luka yang tak bisa sembuh," kata Hijazi. Tangannya sibuk dengan butir-butir tasbih. Ia berzikir saat diwawancara.

Putra pertamanya, Muhammad, yang tewas pada 2008 adalah seorang pejuang. Muhammad masuk menjadi anggota Shihada (martir) untuk melawan Israel dan memang bermaksud mati syahid. Tapi suaminya, Fouad dan dua putra kecilnya tidak demikian. Ketiganya tewas di rumah mereka yang diterjang misil Israel.

Putra Hijazi lainnya, Mustafa (20) kini bekerja sebagai tenaga penjual di toko pakaian. Sehari ia bisa membawa pulang 10 dolar AS. Karena ayahnya sudah tidak ada, gaji Mustafa itu yang ia belikan pakaian untuk adik-adiknya. Gaji saya untuk membeli baju adik-adik. Semoga ini bisa menghapus kerinduan mereka terhadap ayah dan adik yang sudah pergi," kata Mustafa.

Lebaran sendu juga terasa di rumah Al Shawa. Bau haru kue tradisional khas Palestina menyeruak di kanan dan kiri tetangga Al Shawa. Tapi rumah ini tetap kelam. "Kami tidak merayakan Idul Fitri tahun ini," kata Basel Al Shawa, kepala rumah tangga.

Ia lalu mengisahkan cerita sedihnya. Sudah sembilan bulan berlalu sejak putri Basel, Yusra (18) tewas. Yusra bukan pejuang Palestina. Ia korban misil nyasar yang jatuh ke dekat rumahnya. Misil itu menabrak rumah tetangga, meledak dan mengempaskan Yusra dan ibunya. Untuk istri Basel hanya terluka.

Tapi kehilangan Yusra sudah cukup menyakitkan bagi Basel. Ia dan keluarganya sampai harus keluar dari rumah mereka dan menyewa satu apartemen. Mereka tak bisa hidup di rumah yang penuh kenangan bersama Yusra. "Kami tidak membeli baju baru. Kami masih berduka. Tidak ada jalan-jalan ke pasar, tidak ada pelesiran ke pantai, tidak ada kunjungan dari sanak saudara yang berbahagia di bulan ini," tambah Basel.

Ia pernah mencoba untuk menceriakan keluarganya dengan membawa kue-kue khas Palestina di satu malam Ramadhan. Namun alih-alih bahagia, kue tersebut berakhir di tempat sampah. "Begitu ingin menyantapnya, kami ingat Yusra yang senang sekali menghias kue dengan keju, sayuran, atau daging," kata Basel.

Ia dan istri akan menjenguk Yusra setelah shalat Idul Fitri di kuburan terdekat. Setelah itu, mereka menerima kawan-kawan sekolah Yusra yang bertamu ke apartemennya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement