REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil monitoring Daftar Pemilih (MDP) yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan hampir 8o persen daftar pemilih sementara (DPS) di Papua belum diumumkan sesuai tenggat waktu yang ditentukan Komisi Pmeilihan Umum (KPU). Sebanyak 70,3 persen di antaranya bahkan belum memiliki DPS sama sekali.
"Ini memang sebagian besar terjadi di wilayah pegunungan Papua. Tetapi jumlah yang sangat besar itu jangan-jangan mengindikasikan belum ada kesiapan oleh instansi penyelenggara untuk menyelenggarakan pemilu di Papua," kata Direktur LP3ES Kurniawan Zein di Jakarta, Selasa (20/8).
Kesiapan institusi pendaftaran pemilih ditengarai sebagai kendala utama ketidaktersediaan DPS tersebut. Di seluruh provinsi, 89,2 persen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan 86,2 persen Panitia Pemungutan Suara (PPS) telah terbentuk di sebagian kecamatan dan desa di Papua. Tetapi, sebanyak 37,6 persen panitia pendaftaran pemilih (pantarlih) belum terbentuk sama sekali.
Berdasarkan penelitian LP3ES, penyebab utamanya karena kurangnya personil. Serta belum adanya perintah dari KPU Kabupaten/Kota dan provinsi. Memang KPU Provinsi Papua baru dilantik pada 8 Juli 2013. Waktu yang sangat singkat bisa dipastikan membuat rangkaian tugas mereka dalam memutakhirkan DPS terhambat.
"Tapi persoalan KPU provinsi juga tidak terlepas dari KPU pusat. Pada saat kekosongan komisioner di Papua ada peran yang bisa diambil KPU pusat untuk menyiapkan institusi pendaftaran pemilih," ungkapnya.
Kurang siapnya KPU Papua di semua tingkatan juga ditunjukkan pada aspek pelaksanaan fungsi oleh PPS, PPK, dan pantarlih. Seperti bimbingan teknis pemutakhiran data pemilih oleh PPK kepada PPS, oleh PPS kepada pantarlih. Berdasarkan monitoring LP3ES, hampir semua petugas yang diwawancarai tidak melakukan tupoksi tersebut.
Dampak dari tidak berlangsungnya bimtek tersebut adalah rendahnya kualitas pencatatan dan pencoretan di dalam pemutakhiran data oleh pantarlih. Di lapangan, didapati pemutakhiran data masih mengandalkan mekanisme noken yang dipercayakan kepada kepala suku. Padahal mekanisme noken mengandung kelemahan lantaran tidak memiliki sistem kontrol terhadap penambahan dan pengurangan jumlah pemilih.