REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) secara resmi mengakui perannya sebagai dalang kekacauan politik di Iran pada 1953. Kekacauan tersebut berujung pada penggulingan Perdana Menteri Iran Muhammad Mossadeq yang sebelumnya terpilih secara demokratis.
Pengakuan itu tertuang dalam sebuah dokumen yang dirilis oleh Badan Intelijen AS, CIA. Seperti dilaporkan BBC News, CIA merilis dokumen rahasia kepada Arsip Keamanan Nasional (NSA) di Universitas George Washington di Washington, Senin (19/8) waktu setempat, bertepatan dengan peringatan 60 tahun operasi 19 Agustus 1953 itu. Salah satu isi penting dalam dokumen tersebut adalah informasi seputar operasi intelijen penggulingan Mossadeq. ''Kudeta militer dilakukan di bawah komando CIA. Operasi ini adalah bagian dari kebijakan luar negeri AS,'' demikian salah satu kutipan dalam dokumen tersebut.
Disebutkan dalam dokumen itu, tampilnya Mossadeq sebagai pemimpin Iran merupakan kerugian besar bagi AS. Mossadeq pun lalu dimasukkan dalam kelompok orang-orang berbahaya bagi Paman Sam. Selanjutnya, CIA pun bergerak dengan memanipulasi situasi untuk mendorong terjadinya revolusi penggulingan perdana menteri yang dipilih pada 1951 itu. Langkah yang dilakukan CIA antara lain menampilkan cerita dan berita anti-Mossadeq di media massa, baik media massa Iran maupun AS.
Peran AS dalam kudeta di Iran ini pernah diakui secara terbuka oleh Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright pada 2000, dan Presiden Barack Obama dalam pidatonya di Kairo pada 2009. Albright mengakui hal itu ketika krisis diplomasi Teheran dan Washington mencapai puncaknya. Dengan pengakuan itu, Albright bermaksud meminta maaf atas tindakan AS terhadap emerintahan Iran semasa 1950-an sampai 1970-an.
Sedangkan, Presiden Obama bermaksud menjadikan pengakuan itu sebagai pintu masuk rekonsiliasi dengan Teheran. Obama ingin merangkul Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad untuk bersikap lebih lunak dan lebih terbuka terhadap Washington. ''Namun, kala itu agen intelijen membantah keterlibatan mereka,'' kata editor dokumen tersebut, Malcolm Byrne.
Jadi, inilah kali pertama CIA mengakui peran yang dilakukannya bersama dengan lembaga intelijen Inggris, M16, dalam kudeta di Iran. Dokumen tersebut diperoleh NSA atas kebijakan kebebasan informasi.
Mossadeq terpilih sebagai perdana menteri Iran pada 1951.
Setelah berkuasa, dia segera menasionalisasi produksi minyak Iran yang sebelumnya berada di bawah kendali Inggris melalui Anglo-Persia Oil Company--yang kemudian menjadi British Petroleum atau BP. Hal ini menjadi sumber kekhawatiran AS dan Inggris, yang melihat minyak Iran sebagai kunci untuk pembangunan kembali ekonomi pascaperang. CIA pun berkolaborasi dengan M16. Tugas pertama operasi tersebut adalah menyelamatkan kantong-kantong minyak milik Iran.
Selain itu, kata Byrne, Mossadeq punya kecenderungan 'mengabdi' pada negara Tirai Besi (Uni Soviet). ''Jika itu terjadi, maka artinya kehancuran bagi AS bersama sekutu-sekutunya, juga Timur Tengah,'' jelas Byrne.
Byrne menyebut nama Donald Wilber sebagai perencana operasi penggulingan Mossadeq. Dalam dokumen tulisan tangannya, Wilber mengatakan tidak ada cara yang lebih halus untuk mempermudah urusan selain pelengseran paksa. Wilber menjagokan Shah Muhammad Reza Pahlevi sebagai aktor paling depan dalam penggulingan.
Pahlevi pun kembali ke Iran setelah kudeta. Di bawah perlindungan AS dan Inggris, ia sanggup bertahan sampai 1979 ketika ia digulingkan dalam revolusi Islam.