Oleh Selamat Ginting (Wartawan Senior Republika)
Mengapa seorang remaja dari keluarga yang dibesarkan dalam ajaran Islam yang kuat, kemudian tertarik dengan paham yang dilarang di Indonesia?
REPUBLIKA.CO.ID,Tanpa terasa, rombongan 'Jelajah Republika' akhirnya menginjakkan kaki di tanah berpasir putih di Desa Tanjung Kelam, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, pada awal Juni lalu.
Saat itu, suara azan shalat Jumat terdengar nyaring melalui speaker. Lokasi penginapan rombongan hanya berjarak sekitar tiga kilometer atau hanya 10 menit naik sepeda motor ke Jalan Belantu, Pangkallalang.
“Di situlah, tempat tokoh agama dari perkumpulan Nurul Islam yang berafiliasi ke Perserikatan Muhammadiyah,” ujar Muhammad Takdir, salah seorang jamaah masjid setempat.
Ya, tokoh itu bernama Abdullah Aidit yang memiliki istri pertama bernama Nyi Ayu Mailan. Tokoh agama itu juga adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu.
Abdullah Aidit adalah anak dari Haji Ismail, pengusaha ikan di daerah itu. Sedangkan istri pertamanya, Nyi Ayu Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan, Haji Ki Agus Abdul Rachman, seorang tuan tanah.
Abdullah punya enam anak. Semua lelaki. Dari perkawinan pertama dengan Mailan, lahir Achmad, Basri, Ibrahim, dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan.
Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit. Selain itu, ada Rosiah dan Mohammad Thaib, anak bawaan Marisah dari suami sebelumnya.
"Keenam anak kandungnya menyandang nama Aidit. Namun, bukan nama marga," kata Ibarruri Aidit, putri sulung Dipa Nusantara atau DN Aidit. Ibrarruri mengungkapkan hal itu dalam beberapa kesempatan wawancara dengan wartawan tentang asal usulnya.
Lalu, siapa Dipa Nusantara Aidit? Dia sesungguhnya adalah Achmad Aidit, putra sulung Abdullah Aidit dan Nyi Ayu Mailan. Achmad Aidit yang lahir pada 30 Juli 1923 itu adalah muazin di kampungnya.
Ini karena di kampung itu belum ada speaker dan dibutuhkan remaja yang memiliki suara yang keras dan enak didengar. Achmad Aidit dikenal sebagai remaja yang alim, cerdas, berani, dan peduli pada masyarakat.
“Warga di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan karena suara Bang Achmad keras dan bagus,” ujar Murad Aidit, beberapa waktu lalu, sebelum ia wafat.
Pada masa itu, sekitar awal tahun 1930-an, remaja kampung ini bergaul dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi juga bergaul dengan pemuda Cina.
Salah satu keuntungan karena berasal dari kaum terpandang, keluarga Aidit mudah bergaul dengan anak polisi di tangsi, anak-anak Cina di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, perusahaan tambang timah milik Belanda di kampung halamannya.
Perusahaan yang berdiri pada 1825, hanya dua kilometer dari rumah keluarga Aidit. Belakangan, perusahaan itu dinasionalisasi pada era Presiden Sukarno. Namanya berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung. Lalu, pada April 1991 ditutup setelah stok timah di kawasan itu merosot.
Bergaul dengan aroma Belanda pun bisa dilakukannya karena ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar Pemerintah Belanda ketika itu. Kini, bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.
Simpatinya kepada kaum buruh dimulai dari persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton. Ia melihat langsung kehidupan buruh di perusahaan itu yang tetap miskin walau telah bekerja keras. Berbeda jauh dengan orang-orang Belanda yang menjadi bagian dari perusahaan tersebut.
Pergaulan dengan kaum buruh itu, menurut Murad Aidit, yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik abangnya. Itulah ironi yang dilihat Achmad Aidit. Ada perbedaan yang sangat 'jomplang'. Ia berpikir perbedaan kelas itu harus diakhiri. Remaja ini kemudian mulai mencari buku-buku ekonomi, sosial, dan politik.