REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Orang sering menilai seseorang dari kacamata lahir semata atau berpraduga berdasarkan persepsi dirinya. Lebih jauh persepsi itu diungkapkan dengan umpatan atau ghibah. Membicarakan kejelekan orang lain itu.
Islam melarang perbuatan demikian sebagaimana dalam Alquran Surah Al Hujuraat 12: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang”
Prasangka buruk kepada saudara seiman adalah awal dari kemerosotan akhlak. Karena dari prasangka biasanya berlanjut kepada inventarisasi kesalahan. Lalu menggunjingkannya.
Rasulullah SAW melarang perbuatan tercela itu antara lain sebagaimana dalam peristiwa yang dikeluarkan oleh Abdur Razak dan Abu Daud dari Abu Hurairah r.a berikut::
Al Aslami datang menemui Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa dirinya telah berzina dengan seorang wanita. Ia menyatakan demikian hingga empat kali. Setiap kali Al Aslami mengaku dan membuat persaksian, Rasulullah SAW memalingkan wajah darinya. Hingga akhirnya Beliau perintahkan untuk merajamnya.
Ketika itu Rasulullah SAW mendengar salah seorang shahabat berkata kepada shahabat lainnya: “Lihatlah lelaki itu, ia telah membongkar aibnya walaupun Allah telah menutupnya, akhirnya ia dirajam seperti anjing”. Rasulullah SAW terdiam sejenak.
Setelah berjalan beberapa langkah sampai ke satu tempat yang terdapat bangkai seekor himar dalam keadaaan kedua kakinya terangkat ke atas. Lalu beliau bertanya “Dimana si fulan dan si fulan?”
Mereka menjawab, “Kami di sini Yaa Rasulullah”.
Rasulullah bersabda: “Turunlah kalian dari keledai dan makanlah himar ini!”
Kedua lelaki itu berkata, “Yaa Nabi Allah ! Allah mengampunimu, siapa yang mau makan bangkai ini?"
Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Engkau telah berkata mengenai saudaramu tadi, perbuatan itu lebih buruk dari memakan bangkai ini! Demi Dia yang memegang nyawaku dalam genggaman-Nya, bahwa Ia (Al Aslami) sekarang berada dalam sungai-sungai Surga !”
Ada empat hal penting dari peristiwa di atas, yaitu: Pertama, pengakuan tulus atas dosa yang diungkapkan empat kali menjadi dasar pembuktian untuk menghukum. Kesadaran iman yang luar biasa, Aslami sangat khawatir akan siksaan di akhirat nanti. Penyesalan yang dibarengi dengan kesiapan untuk menanggung risiko.
Kedua, berzina adalah dosa besar yang jika dilakukan oleh orang yang telah bersuami atau beristri berakibat hukuman mati. Berzina adalah jarimah kejahatan berat.
Ketiga, Kesadaran berupa penyesalan dan pilihan penyelesaian hukum di dunia adalah pilihan cerdas untuk ampunan akhirat. Berzina, bertobat, kemudian masuk surga.
Keempat, dua sahabat keliru menilai orang yang sesungguhnya istimewa, berani bertanggung jawab, serta mendahulukan keridhaan dan ampunan Allah SWT. Umpatan mereka “bagai seekor anjing” bukan hanya tak patut, tapi akan berbalik kepada dirinya. Menjadi seperti seekor anjing yang suka memakan bangkai!
Dalam kehidupan sehari-hari penilaian keliru dan prasangka sudah menjadi gejala umum. Hal ini sering merontokkan silaturahim dan persaudaraan. Umat Islam yang ingin memperkuat diri haruslah lebih membangun semangat saling percaya dan berprasangka baik antara satu dengan yang lainnya.
Subyektivitas penilaian terkadang dapat membawa bencana. Rasulullah SAW pernah menegur dan menyalahkan shahabat yang membunuh lawan padahal ia telah mengucapkan dua kalimah syahadat. Dasar fikiran shahabat itu adalah kehawatiran bahwa syahadat orang itu hanyalah pura-pura dan sekedar upaya untuk menyelamatkan diri saja. Nabi menyatakan apakah ia telah membelah dadanya hingga tahu isi hati orang itu yang sebenarnya?
Kita tidak tahu isi hati saudara kita, karenanya asas berpraduga tak bersalah (presumption of innocent) nampaknya mesti dilakukan. Rosulullah SAW memalingkan wajah empat kali karena berharap pengakuan Aslami itu tidak benar. Berharap itu hanya uangkapan bukan perbuatan.
Semoga kita mampu mewujudkan sifat dari orang yang baik yaitu menjadi orang yang selalu berprasangka baik kepada saudara-saudaranya. Penilaian keliru sering mengubah kawan menjadi seteru. Ujungnya kita sendiri nanti yang akan dibuat malu.