REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- PT Perkebunan Negara (PTPN) dan PT Pertamina (Persero) turut membantu menjaga ketersediaan mata uang dolar AS di dalam negeri. Langkah ini diharapkan bisa membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih stabil.
"Sudah ada keputusan. Pertamina tidak boleh beli dolar AS di pasar spot kata Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat kepada wartawan di Seoul, Kamis (26/9), ketika menghadiri pertemuan Komite Bersama RI-Korea Selatan.
Menperin menjelaskan, mulai Senin (23/9) Pertamina sudah tidak boleh lagi membeli dolar AS di pasar spot. BUMN itu harus membelinya di pasar forward. Pemerintah, katanya, sudah menjamin bahwa jika nanti ketika Pertamina dalam melakukan hedging mengalami kerugian kurs karena nilainya turun, maka itu tidak dimasukkan dalam klasifikasi kerugian negara. Keputusan itu diambil setelah pertemuan antara pihak terkait yang diminta oleh Presiden.
Menurut Hidayat, keputusan itu sebagai masalah yang penting karena per hari BUMN itu membutuhkan 150 juta dolar AS guna mengimpor minyak. "Bayangkan kalau setiap hari Pertamina mencari dolar AS setiap hari. Ketersediaan dolar AS bisa terganggu," ucapnya.
Terganggunya ketersediaan dolar AS di pasar, menurut Hidayat, dapat mengganggu stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menperin juga mengatakan bahwa saat ini Kementerian BUMN sedang membereskan masalah agar PTPN bisa menjual langsung minyak kelapa sawit (CPO)-nya.
Ini perlu dilakukan karena ternyata selama ini BUMN perkebunan itu tidak menjual langsung CPO-nya, tapi melalui pihak lain. Artinya, dolar AS yang dihasilkan dari ekpor CPO itu tidak bisa disimpan di dalam negeri karena mata uang AS itu telah menjadi milik pihak lain. "Kalau kita jual sendiri kan, kita bisa simpan dolarnya di dalam negeri. Dolar AS kita jadi makin banyak," tukas Hidayat.
Selain karena defisit neraca berjalan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga disebabkan oleh langkanya dolar AS di dalam negeri. Karena itu, upaya menjaga ketersediaan mata uang AS itu teru diupakan pemerintah dan Bank Indonesia.