Rabu 02 Oct 2013 10:39 WIB

Cakrabirawa, Pengawal Setia Sukarno

Sukarno dan Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan
Foto: dokrep
Sukarno dan Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Akbar Wijaya/ Wartawan Republika

 

Kumpulan prajurit terbaik! Itulah kalimat sederhana yang dapat menggambarkan kualitas para prajurit Cakrabirawa. Sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) nama Cakrabirawa menempati posisi bergengsi di dunia militer Indonesia.Tidak sembarang prajurit bisa menjadi anggotanya. Seleksi rekruitmen berlangsung secara ketat dari sekumpulan prajurit pilihan berbagai angkatan.

 

Bagi para anggota Cakrabirawa tugas menjaga keselamatan Sukarno jelas menjadi kebanggaan tersendiri. Maklum, pada zaman itu Sukarno merupakan sosok pemimpin yang dipuja hampir seluruh rakyat Indonesia. Di tangannya nasib keberlanjutan revolusi Indonesia berada. Menjaga keselamatan Sukarno sama artinya dengan menjaga keselamatan revolusi Indonesia.

 

“Tapi negara itu mempunyai satu unsur pula yang mutlak bagi negara, yaitu kepala negara. Dus musuh juga berikhtiar membinasakan kepala negara itu. Dengan membinasakan kepala negara, ia juga membinasakan atau mencoba merugikan negara. Dengan merugikan negara dia merugikan revolusi,” kata Sukarno dalam pidato penyerahan Duaja kepada Resimen Cakrabirawa 9 September 1963, seperti dikutip dari Majalah Tjakrabirawa No. 7, 5 September – Oktober 1963.

 

Personil Cakrabirawa diambil dari prajurit-prajurit terbaik dan terlatih di empat angkatan. Dari Angkatan Laut (AL) ada Korps Komando Operasi (KKO/ sekarang marinir), dari Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) ada Pasukan Gerak Tjepat (PGT/ sekarang paskhas), dari kepolisian ada Brigade Mobil alias Brimob, dari Angkatan Darat (AD) ada pasukan dari Batalion Banteng Raiders.

 

Menarik untuk diperhatikan! Dari semua angkatan yang ada, hanya AD yang tidak menyerahkan pasukan elitenya yakni RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat/ sekarang Kopassus) untuk menjadi anggota Cakrabirawa. Pimpinan AD kala itu beralasan RPKAD sebagai pasukan terlatih hanya dikhususkan untuk tugas tempur lapangan bukan pengawal presiden.

 

Mantan Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan menggambarkan pentingnya nilai pengalaman sebagai syarat menjadi anggota Cakrabirawa. “Pertimbangan mengapa saya dipanggil tidak ditegaskan. Namun, pengalaman saya di bidang kemiliteran tentu ikut dipertimbangkan. Pertama saya dalam korps infanteri, kemudian polisi militer mengikuti pendidikan terjun payung di Batu Jajar, Bandung, sehingga saya diangkat sebagai komandan Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Para pertama kemudian komandan POMAD CADUAAD Mandala/Trikora. Disamping itu, saya juga mengikuti pendidikan di Amerika Serikat, yakni di Physical Security (1959) dan The Provost Marshal General’s School Associate Military Police Officer Advanced (1960) di Fort Gordon, Amerika Serikat” kata Saelan dalam buku Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66.

 

Sturuktur tugas Resimen Cakrabirawa dibagi menjadi tiga lapis. Lapisan pertama disebut Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Detasemen ini berada di lingkaran terdekat Sukarno dan selalu “menempel” dimanapun Sukarno berada. DKP dipimpin seorang perwira polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi, Mangil Martowidjojo dan sejumlah orang-orang kepercayaan Sukarno sejak zaman revolusi. Lapisan kedua bernama Detasemen Pengawal Chusus (DPC), mereka berjaga di sekitar presiden. Lapisan ketiga atau terluar disebut Detasemen Kawal Kehormatan (DKK). Mereka bertugas memastikan keamanan di lingkungan Istana. Secara keseluruhan personil Cakrabirawa berjumlah sekitar 3000 prajurit.

 

Dalam menjalankan fungsi tugasnya prajurit Cakrabirawa bertanggung jawab langsung kepada komandan resimen, bukan kepada panglima angkatan tempat mereka berasal. Sedangkan Komandan Resimen menjalankan tugas berdasarkan komando Panglima Tertinggi ABRI, Presiden Sukarno. Saat Sukarno melakukan kunjungan daerah, Cakrabirawawajib menjalin kerjasama dengan otoritas keamanan wilayah seperti kodam dan kepolisian.

 

Guna menjaga kesinambungan hubungan antara prajurit dengan kesatuan asal, komandan Resimen Cakrabirawa wajib membuat laporan personil setiap enam bulan sekali. Laporan ini nantinya diserahkan kepada Kepala Staf Angkatan Bersenjata sebagai bahan pertimbangan masing-masing panglima angkatan menilai anggotanya selama bertugas di Cakrabirawa.

 

Masa penugasan anggota Cakrabirawa minimal empat tahun. Selama masa tugas tersebut para prajurit Cakrabirawa mendapat berbagai pelatihan dan pendidikan yang bertujuan meningkatkan kualitas mereka di bidang tempur, keterampilan, maupun ideologi. Lantaran belum memiliki tempat pelatihan khusus, maka pelatihan dan pendidikan terhadap anggota Cakrabirawa dilakukan lewat kerjasama empat angkatan. Di bidang tempur pelatihan yang diberikan berupa para komando, ketajaman intelejen, kemahiran menggunakan senjata, dan kemampuan mempertahankan diri.

 

Di bidang ideologi, para anggota Cakrabirawa secara khsusus mendapat pendidikan indoktrinasi. Tujuannya agar mereka memiliki mental budi pekerti baik di masyarakat, memahami maksud penugasan, dan loyal kepada pemimpin besar Revolusi Indonesia beserta konsep revolusi yang digulirkannya. Di bidang persenjataan dan peralatan kerja, Cakrabirawa mendapat standarisasi terbaik sesuai sifat penugasan masing-masing detasemen. Salah satu peralatan kerja Cakrabirawa adalah kendaraan Puch Haflinger buatan Austria. Di zamannya kendaraan ini memiliki spesifikasi terbaik untuk melintas di medan curam, mendaki, dan bergelombang.

 

Pakaian dinas harian Cakrabirawa terdiri dari tutup kepala berupa baret merah tua dilengkapi lencana Cakra warna kuning emas. Lencana berukuran 75 mm dikali 58 mm. Lencana lambang Cakra diletakan dengan dasar kulit hitam. Seragam dinas berupa celana dan kemeja berwarna hijau lengkap dengan ikat pinggang kopelriam berwarna putih. Bagi yang berpangkat Pelda ke atas seragam harian dilengkapi tali peluit berwarna merah tua yang dikenakan pada pundak sebelah kiri.

 

Pakaian dinas lapangan tempur dan latihan terdiri dari baret berwarna merah tua disertai lencana Cakra berwarna kuning emas, ikat pinggang kecil, sepatu lapangan berwarna hitam, kaos kaki berwarna hitam atau hijau polos. Mereka juga diharuskan menggunakan tanda pengenal sesuai fungsi tugas masing-masing berupa tanda pangkat lapangan, tanda jabatan, tanda kemahiran, tanda kemampuan/staf.

 

Dalam pidato penganugerahan duaja (panji) Resimen Cakrabirawa, Presiden Sukarno berpesan agar berbagai fasilitas yang dimiliki Cakrabirawa tidak membuat mereka lupa diri sebagai seorang prajurit.

“Ada satu hal yang perlu saya katakana di sini, supaya kita semua mengerti ialah bahwa seperti misalnya Resimen Cakrabirawa ini bukanlah satu lux, bukanlah satu hal ganteng-gantengan. Ini adalah satu hal keharusan, satu kepastian daripada negara kita yang di dalam revolusi,” pesan Sukarno.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement