REPUBLIKA.CO.ID, PBB -- Prancis pada Jumat (4/10) kembali mendesak lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk tidak menggunakan hak vetonya terhadap setiap resolusi yang berkaitan dengan kasus "kejahatan massal".
Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius mengatakan hal tersebut berkaitan dengan buntunya perundingan di Dewan Keamanan mengenai perang saudara di Suriah, di mana tiga resolusi telah ditolak oleh Rusia. Fabius sendiri tidak menyebut Rusia dalam komentar yang dipublikasikan oleh The New York Times, Le Monde, dan beberapa surat kabar lainnya itu.
Dia mengatakan, Dewan Keamanan tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan tragedi di Suriah. Kepada mereka yang berharap kepada PBB untuk turut bertanggung jawab melindungi umat manusia, situasi ini memang patut untuk dikecam," kata dia, seperti dilansir dari AFP, Sabatu (5/10).
Resolusi terakhir yang disetujui pada 27 September lalu, yang menginstruksikan penghancuran persenjataan kimia Suriah, merupakan yang pertama disepakati oleh semua anggota tetap Dewan Keamanan. Fabius mengatakan, Prancis mengusulkan "jika Dewan Keamanan harus membuat keputusan terkait kasus kejahatan massal, maka anggota tetap harus sepakat untuk tidak menggunakan hak vetonya."
Inggris, Cina, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat (AS), yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan sejak pembentukan PBB pada 1946, mempunyai hak veto untuk menolak setiap resolusi yang telah disetujui oleh 15 negara anggota lain.
Sejak tahun 2000, AS telah menggunakan hak vetonya sebanyak 11 kali. Sebagian besar untuk menghentikan resolusi yang hendak menyerang sekutunya Israel. Sementara Rusia menggunakannya tujuh kali, tiga di antaranya untuk menghentikan upaya negara Barat menjatuhkan Presiden Bashar al Assad.
Cina memveto resolusi lima kali dengan tiga di antaranya untuk resolusi kasus Suriah. Dua negara anggota tetap Dewan Keamanan yang lain, Prancis dan Inggris, belum pernah menggunakan hak veto sejak 1989.