Kamis 10 Oct 2013 17:33 WIB

Syarikat Islam: Boedi Oetomo Menolak Cita-Cita Persatuan Indonesia

Ketua Umum Syarikat Islam (SI), H Rahardjo Tjakraningrat
Foto: Heri Ruslan/Republika Online
Ketua Umum Syarikat Islam (SI), H Rahardjo Tjakraningrat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syarikat Islam menggugat penetapan Hari Kebangkitan Nasional yang didasarkan pada lahirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.  Ketua Umum Syarikat Islam (SI), H Rahardjo Tjakraningrat menegaskan, gugatan itu dilakukan bukan tanpa alasan.

''SI ingin meluruskan sejarah pergerakan Indonesia berdasarkan fakta-fakta kesejarahan yang ada,'' ujar Rahardjo kepada wartawan di sela-sela Milad ke-108 SI  yang digelar di Wisma PKBI, Jakarta, Kamis (10/10). Gugatan itu, kata dia, juga dilakukan buka karena SI ingin membangkitkan kebangaan masa lalu sebagai kenangan tanpa makna.

Menurut Rahardjo, Boedi Oetomo hanyalah sebuah paguyuban  beberapa orang yang sangat eksklusif, terdiri dari priyayi Jawa yang beruntung memperoleh akses pendidikan di STOVIA.  ''Mereka  menyatakan bahwa Boedi Oetomo) adalah "Perkumpulan Prijaji Djawa dan Madura" dan hanya priyayi Jawa dan Madura yang boleh menjadi anggota,'' cetus Rahardjo.

Bahkan, kata dia, Boedi Oetomo memutuskan dapat menerima Cina dan Belanda. ''Boedi Oetomo menolak cita-cita persatuan Indonesia (hasil kongres Boedi Oetomo 1928) dan lebih mengutamakan gerakannya sebagai geraakan Jawanisme.

Rahardjo mengungkapkan, seorang nasionalis terdidik seperti Dr Tjipto Mangunkusumo bahkan keluar dari keanggotaan Boedi Oetomo karena usulannya agar non-Jawa diterima sebagai anggota mendapat penolakan. "Lalu bagaimana kelahiran sebuah perkumpulan dan gerakan eksklusif yang sangat sektarian dan tak berpikir persatuan Indonesia, tetapi berjuang untuk nasionalisme Jawa  dipilih menjadi hari Kebangkitan Nasional?"  cetusnya.

Ia mengungkapkan, berdasarkan berbagai tulisan sejarah, Hari Kebangkitan Nasional ditetapkan pada 20 Mei  -- bertepatan dengan lahirnya Boedi Oetomo --  oleh Kabinet Hatta karena pertimbangan perlunya mengikat kembali persatuan yang terancam pecah.

"Bung Karno bahkan beberapa kali dalam pidatonya menyatakan bahwa Hari Kebangkitan Nasional perlu dievaluasi,'' ungkap Rahardjo. Gugatan yang dilakukan SI itu, kata dia, semata-mata  agar bangsa Indonesia mulai mau menerima koreksi terhadap benang merah perjuangan bangsa yang lurus dan benar hingga mengantarkan Indonesia merdeka.

SI, tegas Rahardjo, ingin menyatakan bahwa kebangkitan nasional dimulai dari hadirnya "perlawanan secara sadar", bukan dari munculnya gerakan-gerakan kolaboratif dan konspiratif. Menurutnya, 16 Oktober -- sebagai hari lahirnya Serikat Dagang Islam -- sangat layak dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement