REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan pemerintah untuk mempersempit peluang terjadinya politik dinasti di daerah sepertinya bakal terwujud. Mayoritas fraksi di DPR telah satu suara mendukung usulan tersebut untuk dituangkan dalam RUU Pilkada yang kini tengah dibahas.
"Sembilan fraksi di parlemen menyatakan setuju agar masalah politik dinasti ini diatur dalam undang-undang. Bahkan, DPD juga mendukung pemikiran ini," ujar Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, kepada Republika, Kamis (17/10).
Ia menuturkan, penerapan politik dinasti sampai sejauh ini telah menimbulkan dampak yang tidak sehat bagi iklim demokrasi. Fakta ini semakin terlihat jelas ketika sejumlah anggota keluarga kepala daerah/wakil berlomba-lomba untuk meraih posisi strategis di lingkungan birokrasi dan parlemen di daerahnya.
Djohermansyah menjelaskan, ketentuan terkait politik dinasti yang diusulkan pemerintah bukan bersifat pelarangan. Melainkan hanya memberikan pembatasan pada beberapa poin di ruang lingkup pilkada. Antara lain, calon kepala/wakil kepala daerah tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana.
Kecuali ada selang waktu satu kali masa jabatan (setelah lima tahun-red). Aturan ini juga dapat menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh inkumben. Baik sebelum mau pun pada saat berlangusungnya pilkada.
"Selain itu, regulasi ini juga untuk melindungi hak konstitusional semua WNI dan sejalan pula dengan persyaratan petahana nonaktif pada saat kampanye," imbuhnya.
Ia menambahkan, pengaturan pembatasan politik dinasti ini nantinya tidak ditempatkan pada bab persyaratan. Melainkan pada bab penetapan calon. Mereka yang terbukti memiliki hubungan perkawinan seperti disebutkan di atas, wajib mengundurkan diri sebagai calon kada/wakada.
Bila yang bersangkutan tidak bersedia mundur, maka KPU harus membatalkan pencalonannya. "Jika KPU tidak membatalkan juga, maka pencalonan orang itu dianggap batal demi hukum," jelasnya.