REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Investasi di sektor kehutanan tidak selalu identik dengan modal besar. Kini masyarakat awam bisa berinvestasi mulai dengan Rp 7,5 juta saja.
Tidak percaya? Buktinya ada pada 1500 investor yang sudah bergelut menekuni usahatani jati unggul dengan pola bagi hasil. Sejak tahun 2007, ribuan orang telah berinvestasi pada 946.355 pohon tanaman Jati Utama Nasional (JUN). Berbeda seperti jati lainnya yang berpuluh tahun baru panen, JUN hanya butuh 5 tahun untuk panen.
"Jati umumnya baru bisa dipanen lebih dari 50 tahun," ujar Direktur Utama Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) Hariyono Soeroso ditemui di Manggala Wanabakti, Senayan, Senin (21/10).
Cara berinvestasi JUN relatif mudah. Secara umum, ada lima pihak yang terlibat dalam investasi ini. Pertama, yaitu investor. Tahun ini, satu pohon JUN dihargai Rp 70 ribu. Sedangkan tahun depan, harganya naik menjadi Rp 75 ribu per pohon. Minimal investasi sebanyak 100 pohon atau senilai Rp 7 juta selama lima tahun. Nantinya, investor mendapatkan jatah sebanyak 40 persen dari nilai pohon yang telah dipanen. "Pada panen perdana tahun 2012 lalu, investor mendapatkan keuntungan sekitar 30 persen per tahun," katanya.
Pihak kedua yakni pemilik lahan. Hasil yang didapatkan pihak ini sebesar 10 persen dari nilai tanaman yang ditanam. Lalu ada pihak petani penggarap yang mendapatkan bagian 25 persen dari hasil tanaman ditambah upah. Upahnya sendiri sekitar 14 ribu rupiah per pohon selama 4 tahun. Upah ini dibayarkan secara bertahap. "Pemilik lahan juga bisa merangkap sebagai petani penggarap dan mendapatkan 35 persen hasil tanam," ujarnya.
Pihak selanjutnya yakni kepala desa yang diberikan 10 persen hasil panen. Tugas pihak ini yaitu untuk mengawasi keabsahan lahan. Lebih rinci pihak ini mendapatkan keuntungan Rp 500 per pohon per tahun. Biasanya upah ini dibagikan ketika hari raya tiba. Terakhir, sebanyak 15 persen dialokasikan untuk KPWN sebagai tenaga profesional. "Nanti KPWN yang mengembangkan bibit serta memasarkan hasil panen," ujarnya.
Jenis investasi ini dibuat melihat bahwa banyak lahan di pedesaan dibiarkan terlantar tanpa pengelolaan. Di sisi lain, di kota besar banyak masyarakat pemilik dana yang masih bingung dimana menempatkan kelebihan dana yang ada. Pola bagi hasil pun dipilih karena dianggap telah terbukti efektif dalam mengelola lahan pertanian. Semua pihak juga terikat dengan hukum terkait persoalan administrasi.
Tenaga Ahli UBH-KPWN, Suhariyanto mengatakan pola bagi hasil ini juga memberi mafnaat sosial. Dengan pola ini, struktur masyarakat tidak rusak, justru diperkuat. "Masyarakat mempunyai rasa kepemilikan yang tinggi apabila mendapatkan manfaat secara ekonomi," katanya kepada ROL.
Investasi ini juga menguntungkan ditinjau dari aspek lingkungan. Tanah di sekitar pohon jati bertambah subur, sehingga menghasilkan nilai tambah lain. Semakin banyak masyarakat mengadopsi investasi seperti ini, diharapkan ekonomi kerakyatan pun bertambah kokoh.