Selasa 22 Oct 2013 14:59 WIB

Sidang Simulator SIM, Saksi Menangis

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Mansyur Faqih
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri, Budi Susanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (10/9).
Foto: Adhi Wicaksono/Republika
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri, Budi Susanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (10/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan driving simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011 diwarnai tangis saksi Sylvia Mariani Kusumaningrum. Sylvia hadir sebagai saksi bagi terdakwa, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto.

Sylvia adalah istri Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo Sastronegoro Bambang, sekaligus komisaris perusahaan tersebut. PT ITI merupakan perusahaan yang bekerja sama dengan PT CMMA dalam pengadaan proyek simulator.

Jaksa Iskandar Marwanto sempat bertanya mengenai kejadian pengambilalihan PT ITI pada 4 Juli 2011. "Pak Budi membawa rombongan masuk ke pabrik," kata Sylvia, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (22/10).

Saat memberikan keterangan itu, mata Sylvia sudah tampak berkaca-kaca. Ia menjelaskan saat kejadian itu suaminya sempat ditampar seseorang. Ia pada awalnya tidak mengetahui alasan sehingga terjadi situasi tersebut. Namun, setelahnya ia baru tahu jika perusahaannya dinilai tidak dapat menyelesaikan pekerjaan. Kemudian setelah kejadian itu, ia mengaku sempat mendapat paksaan."Saya dipaksa tanda tangan kertas kosong," kata dia.

Adanya pernyataan paksaan itu kemudian ditindaklanjuti penasihat hukum Budi, Rufianus Hutauruk. Ia menanyakan kepada Sylvia bagaimana kejadian pemaksaan itu. "Waktu itu orang Budi Susanto, ada beberapa karyawan, ada provost Bandung yang datang. Suruh saya tanda tangan kertas kosong," ujar Sylvia.

Rufinus mengungkapkan informasi tambahan. Ia menanyakan mengenai adanya pernyataan yang dibuat dan ditulis Sylvia sendiri. "Setelah itu baru saya menulis harus kembalikan uang. Setelah saya dipaksa untuk tanda tangan," ujar dia.

Penasihat hukum Budi tampaknya masih belum mendapat gambaran pemaksaan yang terjadi. Sehingga, Rufinus kembali menanyakan bagaimana kejadian pemaksaan itu. "Gimana itu paksanya?," kata Rufinus.

Setelah mendapat pertanyaan itu, Sylvia mulai menangis. Ia belum bisa langsung menjawab pertanyaan. Jalannya persidangan sempat terhenti karena Sylvia menangis. Ia sempat diberi tisu untu menyapu air matanya. "Saya trauma," kata Sylvia.

Ketika Sylvia sudah bisa menangkan diri, pertanyaan kembali berlanjut. Ia mengatakan, sebelum menandatangani surat pernyataan itu, sempat menghubungi suaminya. Setelah mendapat persetujuan dari Sukotjo, Sylvia pun menandatangani surat pernyataan. "Setelah tanda tangan surat kosong baru buat pernyataan itu," kata dia.

Kejadian pada 4 Juli menjadi awal Sukotjo dipolisikan. Panitia pengadaan proyek melaporkan Sukotjo karena dinilai tidak bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat waktu. Sementara ada dana yang sudah cair. Dalam surat dakwaan Budi, pelaporan Sukotjo itu dinilai sebagai upaya untuk melindungi Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Djoko 

saat itu masih menjabat sebagai Kepala Korlantas dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Sebelum pekerjaan selesai, Djoko disebut sudah memerintahkan melakukan pencairan dana 100 persen dan itu bertentangan dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement