REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’
Beragam kasus nista yang kerap menghiasi media membuat kita mengurut dada. Indonesia adalah sebuah bangsa dengan kuantitas orang Islam terbesar di dunia. Orang bergelar haji sukar dihitung dengan jari.
Tradisi dan seremoni keagamaan juga sangat tinggi. Tetapi kenapa negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama ini justru penuh berbagai perilaku menyimpang?
Tidak perlu lagi diutarakan segala kebusukan moral dan sosial yang semakin gencar di negeri sejuta masjid ini. Orang yang fasih mengkhotbahkan dalil-dalil Alquran justru menginjak-injak martabat Islam. Penyandang gelar pendidikan mentereng bahkan terampil melecehkan harga diri kebenaran dan kemanusiaan.
Kita lancar bersyahadat tetapi gila hormat. Menuhankan harta, wanita, jabatan, ideologi, organisasi, partai, dan segala yang berbau materi atau benda. Kita rajin mengerjakan shalat sekaligus gemar bermaksiat. Semangat berzakat sambil terus melindas yang melarat. Rutin berpuasa sembari aktif mengangkangi hak sesama. Berulang kali naik umrah dan haji namun tetap getol membanggakan diri.
Mana jargon-jargon keindahan Islam yang selalu kita ucapkan itu? Jangan heran, harta alam yang begitu meruah tidak pernah sanggup mengenyangkan perut penghuninya. Pangkal dari semua ini jelas meranggasnya keimanan dalam diri kita. Silakan bertepuk dada dengan data statistik tentang jumlah orang Islam di Indonesia. Tetapi, jika mau jujur, berapa persen dari kita yang benar-benar beriman?
Islam kita sebatas KTP. Keimanan kita tidak tampak dalam perilaku keseharian. Mirip orang Badui sebagaimana sudah dinyatakan Allah, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah berislam’. Karena iman itu belum masuk ke hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS Al-Hujurat: 14].
Terdapat jurang perbedaan antara Islam dan iman. Islam itu pasif, sementara iman adalah aktif. Islam itu diam, sementara iman adalah gerak. Islam itu reseptif, sementara iman adalah produktif. Islam itu statis, sementara iman adalah dinamis. Islam itu ranah ketundukan, yang bisa disejajarkan dengan kognisi atau pemerolehan pengetahuan dalam pendidikan. Sementara itu, iman adalah ranah pengamalan, yang bisa disejajarkan dengan afeksi atau penyikapan dari dorongan perasaan.
Belum bisa dikatakan beriman orang yang meyakini kebenaran Islam tetapi ucapan dan perilakunya justru menyalahi tuntunan Allah dan Rasulullah. Iman yang benar pasti akan melahirkan ucapan dan perbuatan mulia. Menurut Rasulullah, “Iman itu ada 71 atau 61 cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan ‘Tiada Tuhan selain Allah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.” [HR Muslim].
Menilik bahasanya, iman seakar dengan aman dan amanah. Dengan kata lain, orang yang beriman akan menyebabkan lingkungan sekitarnya merasa aman karena pribadinya yang amanah. Anak yang beriman akan menjaga nama baik orang tuanya, orang tua yang beriman akan mengawal akidah buah hatinya, istri yang beriman akan melindungi kehormatan dirinya, suami yang beriman akan merawat kesetiaan istrinya, tetangga yang beriman akan menyemai kerukunan di antara sesama.
Demikian pula dalam pekerjaan. Petani yang beriman tidak akan mengabaikan mutu tanamannya, pedagang yang beriman tidak akan menutupi kelemahan dagangannya, pendidik yang beriman tidak akan merendahkan anak didiknya, tokoh yang beriman tidak akan menyesatkan umatnya, pegawai yang beriman tidak akan mangkir dari tugasnya, atasan yang beriman tidak akan menghinakan anak buahnya, rakyat yang beriman tidak akan melawan pemimpinnya, pemimpin yang beriman tidak akan mengenyahkan harta, martabat, dan jiwa rakyatnya.
Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari keimanan. Keimanan yang kuat tertancap di dada dapat menenangkan jiwa, menenteramkan hati, mendamaikan pikiran. Saatnya menakar keimanan kita. Seberapa besar ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian hidup di dunia, sebatas itu pula kualitas keimanan kita sesungguhnya.
Renungkan ayat berikut. “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [QS An-Nahl: 97].
email penulis: [email protected]