REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Yusuf Mansur
“Saya mau buka rumah tahfiz, Ustaz,” kata Jody dan Aniek, sekitar dua tahun lalu. Saya ini sudah agak lama melupakan prinsip Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.
Semoga dengan menulis kembali hal ini, saya juga kembali memakai prinsip Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.
Saat itu, saat saya masih tidak mengandalkan ikhtiar dan sebab-sebab di luar Allah. Jawaban saya, Allah banget. “Ke Allah aja dulu.” Begitu kira-kira jawaban saya atas pertanyaan seperti Jody dan Aniek.
Bahkan untuk hal-hal yang sifatnya keduniawian, misalnya untuk pekerjaan, usaha, keinginan memiliki mobil, motor, rumah, dan lain-lain.
Intinya, jangan mengandalkan selain Allah. Baik itu sumber daya duit, alam, manusia. Jangan. Andalkan Allah saja. Itu justru menentramkan, powerful, nggak repot, dan nggak berisiko.
Saya beristighfar. Semakin ada kekuatan selain Allah, maka ketergantungan kepada Allah bisa makin berkurang. Misalnya, ada duit Rp 10 ribu. Lalu pengen nasi goreng.
Jarang manusia menyebut Allah, ingat Allah, dan ke Allah. Biasanya, langsung merogoh kantongnya, dan jalan ke tukang nasi goreng. Apalagi kalau tukang nasi goreng sudah di depan mata. Kelihatan. Makin nggak ada Allah dah.
Alhasil, dari proses awal, sampai akhir, nama dan peran Allah, nggak diungkapkan sempurna. Kalaupun diungkapkan, itu cuma basa basi, tidak bertenaga, dan sering sebagai menggugurkan keharusan doa saja.
Biasanya, manusia bisa full ke Allah, saat memang sudah nggak yang lain, kecuali Allah. Baru deh ke Allah. "Ya Allah, kemana lagi saya berharap kecuali kepada Engkau? Pintu lain udah tertutup..." Begitu rintihan kita. Yah, alhamdulillah. Daripada nggak sama sekali.
Saya suka bicara ini. Menghidupkan kembali sisi tauhid saya. Sisi iman saya. Bahwa Allah itu benar-benar nggak memerlukan yang lain.
Peran ikhtiar bukan sebagai Tuhan, hanya sebagai ibadah, adab, dan akhlak. Kita memang diharuskan berikhtiar, tapi ikhtiar itu bukan segalanya. Yang segalanya adalah Allah.
Untuk pendirian rumah tahfiz, kalau sudah begini, sama saja dengan semua urusan di muka bumi ini. Bila masih merasa perlu modal, maka peran Allah jadi nggak ada.
Saya mau buka rumah tahfiz? Tapi gimana ya? Uang nggak ada? Nah, bukan begini. Ada Allah, kok pake nanya, pake perlu akan uang?
Saya pengen buka rumah tahfiz, gurunya gimana? Modul-modulnya? Dananya? Santrinya darimana? Ntar ada yang satu, lebih banyak nanti pikiran //nyodorin// yang lain yang nggak ada.
Karena itu, jawaban saya atas Jody dan Aniek, "Saya mau buka rumah tahfidz, ustaz." Maka jawaban saya, mantab: "Ke Allah aja. Minta sama Allah caranya. Minta sama Allah diajarin. Minta sama Allah ditunjuki."
Termasuk urusan di mana mencari ustaz-ustaznya, mencari santrinya, dan lainnya. Ngak perlu punya pengalaman juga. Yang penting, punya Allah.
Jody dan Aniek kemudian mengandalkan niat yang tulus ikhlas, doa, shalat-shalat, mohon petunjuk. Lalu, jalan dan mulai saja. Hasilnya? Subhanallah, tujuh hinggal delapan rumah tahfiz lahir.
Bahkan ada rumah tahfiz spesial, rumah tahfiz badminton. Santrinya berprestasi hingga tingkat nasional. Padahal saat memulai, mereka nggak punya apa-apa, dan nggak punya siapa-siapa, khususnya bila terkait dengan ilmu dan pengalaman tahfiz.
Saat ini, beliau berdua sedang membangun hotel tahfidz, dan beragam program bergengsi di bidang tahfiz. Untuk syiar dan dakwah tahfidz.
Nah, buat diri saya, dan buat siapa yang masih merasa perlu selain Allah, maka ketahuilah, itulah yang sangat menghambat. Pergilah ke Allah. Bilanglah, cukuplah Engkau ya Allah bagiku.
Makasih ya Allah. Makasih Jody, makasih Aniek. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus, hidup kembali di dalam pikiran, rasa, dan ikhtiar saya. Semoga istiqamah.