REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbindo) melihat bahwa perusahaan sawit mengekspolitasi buruh kebun dan menciptakan kemiskinan bagi masyarakat lokal.
Padahal berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) produksi kelapa sawit meraup keuntungan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, keuntungan dari kebon sawit mencapai Rp 205 triliun, meningkat Rp 160 triliun dari tahun 2011.
Pengembangan industri kelapa sawit dikatakan telah menubah dinamika perekonomian lokal, dimana pemilik lahan bertransformasi menjadi tenaga upahan. Kondisi ini diperparah oleh negara yang tidak memberikan perlindungan kepada para buruh sawit.
Para buruh tidak dibekali jaminan kesehatan, bekerja dengan bayaran minimal, keselamatan kerja buruk, dan hubungan kerja yang berbasis eksploitatif.
Koordinator Serbundo, Herwin Nasution mengatakan setidaknya terdapat 80 ribu BHL dari total 236 ribu buruh yang ada di perkebunan sawit skala besar, yang beroperasi di Sumatera Utara. Perhitungan ini belum termasuk keluarga, anak-anak dan perempuan yang membantu bekerja tanpa status di dalam perkebunan.
"Perkiraan ini belum juga termasuk upah buruh kernet dan buruh borongan yang tidak memiliki ikatan kerja," ujarnya, Ahad (10/11).
Untuk itu Serbundo meminta pemerintah untuk menindak tegas perusahaan yang memperlakukan buruh dengan semena-mena. Pemerintah juga dirasa perlu mengawasi praktek perburuhan yang ada di perkebunan sawit, mulai dari perekrutan hingga sistem penggajian.
Serbundo juga melihat masih banyak penyimpangan yang dilakukan perusahaan sawit yang memiliki sertifikasi minyak sawit berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil/CSPO). Untuk itu Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) diminta untuk mempermudah proses pengaduan terhadap penyimpangan yang dilakukan anggota RSPO.