REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG- - Tuntutan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di Jawa Tengah sudah menjadi rutinitas sehingga perlu ada titik temu antara serikat buruh, Gubernur Jateng, dan pengusaha, kata pakar keuangan negara Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Wiwik Widayati.
"Buruh ingin meningkatkan pendapatannya, sementara di satu sisi berhadapan dengan pengusaha yang ingin mempertahankan UMK dalam posisi status quo dan kondisi itu selalu akan terjadi," kata Wiwik Widayati di Semarang, Selasa (26/11).
Tuntutan buruh, lanjut Wiwik, selalu berulang dari tahun ke tahun dan dengan tuntutan sama, sehingga harus ada titik temu besaran UMK dari semua pihak.
"Buruh jangan ditekan dengan upah yang terlalu rendah supaya buruh bekerja ada kesejahteraannya. Akan tetapi jika tuntutan buruh mengalami kenaikan hampir 60 persen dari tahun kemarin, hal tersebut juga dipertanyakan kewajarannya," katanya.
Menurutnya, untuk menemukan satu titik besarnya UMK hingga saat ini terus terjadi tarik-menarik antara serikat buruh dengan pengusaha, sementara pemerintah berada di posisi memfasilitasi agar tuntutan buruh tidak terlampau tinggi.
Jika tuntutan buruh terlampau tinggi dan pengusahanya tidak mampu, justru membuka peluang kemungkinan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau justru memindahkan usahanya ke daerah atau negara lain.
"Harus hati-hati jika upah minimum mengikuti kemampuan buruh sedangkan perusahaaan tidak mampu, rawan terjadi PHK dan relokasi industri, kepentingan nasional menjadi terugikan," ujarnya.
Akibat tingginya tuntutan UMK, lanjut Wiwik, sudah banyak perusahaan di Jakarta yang memindahkan usahanya ke luar negeri serta memindahkan usahanya ke daerah dengan upah rendah dan hal tersebut akan menciptakan pengangguran serta menutup pintu investasi di sektor riil.