REPUBLIKA.CO.ID, Usia mereka boleh jadi tidak lebih dari 10 tahun. Namun, kulit mereka telah melegam terpanggang. Telapak kaki mereka mengeras dan terkelupas bermodalkan sandal jepit yang menipis untuk melompat dari satu bus ke bus lain, satu angkot ke angkot berikut, serta menadahkan tangan seraya menyuguhkan wajah iba demi sekeping Rp 500 atau syukur-syukur selembar Rp 2.000.
Mereka inilah yang sejak kecil telah berpredikat sebagai anak jalanan. Di usia dini, mereka telah melakoni profesinya masing-masing. Ada yang mengamen, memulung, hingga menyemir sepatu. Tidak inginkah mereka menikmati masa kecil dan belajar seperti anak-anak yang lain?
Jauh dari ingar bingar jalan raya dan tersembunyi di kawasan Plumpang, Rawa Badak, Jakarta Utara, anak-anak jalanan itu ternyata bersekolah. Salah satu lembaga sosial yang peduli terhadap nasib anak jalanan dan atau anak kurang mampu adalah Yayasan Himmata. Di tempat ini, 400 lebih anak jalanan mengenyam pendidikan secara cuma-cuma.
Menurut Sarkono, ketua Yayasan Himmata, mereka terbentuk sejak 2000 dan merupakan lembaga sosial masyarakat yang bersifat independen dan nirlaba. Pada tahun 2004 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Himmata di tengah lingkungan masyrakat yang kumuh disahkan.
PKBM Himmata hampir serupa dengan sekolah formal. Tak hanya dari seragam, jam belajar pun hampir sama dengan sekolah formal kebanyakan dan berlangsung selama lima hari dalam seminggu. Karena PKBM Himmata hampir sama dengan sekolah formal, mereka membutuhkan pengajar yang tetap tidak hanya suka relawan. Saat ini PKBM Himmata memiliki sekitar 30 pengajar tetap dengan bayaran tak lebih dari Rp 300 ribu, jauh dari kata sejahtera.
Namun, mendapatkan bayaran bukanlah tujuan utama menjadi pengajar di sini. Mohamad Anwar, salah satunya, ia mengaku mau menjadi pengajar selama lebih dari 10 tahun karena tuntutan hati nurani untuk memberi ilmu kepada anak bangsa.
Mengajar anak jalanan itu susah-susah gampang. “Kalau didasari keikhlasan, bukan orientasi mengajarnya karena materi istilah susah itu nggak ada,” ujar Mohamad Anwar guru mata pelajaran Sosiologi dan Pendidikan Agama Islam.
Secara fisik bangunan PKBM Himmatan memang memenuhi syarat, namun nasib pengajar masih kurang perhatian dari donatur, “Kita ini manusiawi, memang perasaan itu ada, namun sumber rezeki tidak hanya disini saja, tapi diluar masih ada. Yang penting terus tawakal,” kata dia.