REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Bidang Penyelesaian Laporan atau Pengaduan Ombudsman, Budi Santoso, mengakui adanya politisasi profesi guru. Hal tersebut diungkapkannya saat dihubungi Kamis (28/11).
"Memang banyak kasus/keluhan soal tersebut. Tapi saya tidak menghitung jumlahnya karena persoalannya lebih bersifat politis," ujarnya.
Menurut Budi bentuknya politisasi profesi guru adalah dengan memobilisasi untuk mendukung kandidat bupati/walikota tertentu di daerahnya dalam pemilukada. Biasanya, kata Budi, mobilisasi tersebut dilakukan oleh bupati/walikota petahana. "Itu temuan yang pernah kami jumpai," ujarnya.
Akibatnya, kata Budi, ada guru-guru yang dimutasi tanpa sebab karena yang bersangkutan tidak menjadi tim sukses dan tiba-tiba "dibuang".
Ia pun mengungkapkan solusi yang pasti adalah bahwa guru-guru harus dipindahkan/dipisahkan dari kewenangan bupati/walikota supaya tidak dijadikan alat politik terus-menerus setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan di daerahnya masing-masing. "Artinya kewenangan pola karir para guru harus dikembalikan dibawah Kementerian Dikbud," kata dia.
Sementara itu, Wakil Sekjen Komnas Pendidikan, Sukmawardana, menyayangkan apabila ada organisasi profesi guru yang dipolitisasi. Menurutnya adanya politisasi tersebut akan berdampak buruk pada pendidikan. "Organisasi profesi guru jangan mau dipolitisasi. Karena kalau itu terjadi akan menyebabkan kekacauan pada dunia pendidikan dan lunturnya citra pendidikan," katanya.
Sukmawardhana mengatakan, memang politik sudah menjadi hak semua warga negara termasuk guru. Namun, pelaksanaan hak tersebut harus berdasarkan hati nurani dan penilaian yang jelas.
Sukmawardhana pun mengungkapkan beberapa hal penyebabnya dipolitisasinya organisasi profesi guru. Diantaranya adalah tidak ada kesadaran dalam organisasi profesi guru yang fokus bervisi meningkatkan kualitas guru. Penyebab kedua lemahnya pemimpin organisasi profesi guru tersebut. "Ketiga para politisi yang sangat tidak profesional memanfaatkan organisasi profesi guru," ujarnya.