REPUBLIKA.CO.ID, Dalam menetapkan hukum penggunaan alkohol untuk pengobatan, ulama fikih tetap berpedoman pada hukum khamar. Imam mazhab yang empat pada dasarnya sepakat mengatakan bahwa memakai khamar dan semua benda-benda yang memabukkan untuk pengobatan hukumnya adalah haram. Pendapat ini beralasan pada hadis riwayat Ibnu Mas‘ud yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat (untuk) kamu dari sesuatu yang diharamkan memakannya” (HR. Bukhari).
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikatakan, Tariq bin Suwaid meriwayatkan bahwa dia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang khamar. Rasulullah SAW melarang atau membenci pembuatan khamar itu. Ibnu Suwaid berkata, ” Aku membuatnya hanya semata-mata untuk obat”. Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya (khamar) itu bukannya obat, tetapi malah penyakit” (HR. Abu Dawud). Dan satu lagi adalah hadis dari Abu Darda yang mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan (sekaligus) penawar (obat)nya, maka berobatlah kamu sekalian, dan janganlah kamu berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud).
Akan tetapi, ulama yang datang belakangan memberikan kelonggaran dengan beberapa persyaratan tertentu. Sebagian ulama Mazhab Hanafi membolehkan berobat dengan sesuatu yang diharamkan (termasuk khamar, nablz, dan alkohol), dengan syarat diketahui secara yakin bahwa pada benda tersebut benar-benar terdapat obat (sesuatu yang dapat menyembuhkan), dan tidak ada obat lain selain itu.
Ulama dari kalangan Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa haram hukumnya berobat jika hanya dengan khamar atau alkohol mumi, tanpa dicampur dengan bahan lain, di samping memang tidak ada bahan lain selain bahan campuran alkohol tersebut. Disyaratkan pula bahwa kebutuhan berobat dengan campuran alkohol itu harus berdasarkan petunjuk atau informasi dari dokter muslim yang ahli di bidang itu. Demikian pula penggunaannya hanya kebutuhan saja dan tidak sampai memabukkan.