REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum perbaikan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dijadwalkan selesai Rabu (4/12) besok, PDI Perjuangan akan membeberkan 47.322.266 data pemilih bermasalah.
Angka tersebut merupakan hasil analisa terhadap DPT yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 4 November lalu.
Ketua Tim Pengkajian dan Pengawasan DPT DPP PDI-P yang juga menjabat wakil ketua Komisi II DPR, Arif Wibowo mengatakan, hasil kajian tersebut rencananya akan disampaikan Fraksi PDI-P DPR pukul 13.00 WIB siang ini.
Secara umum, masalah DPT sebenarnya tidak hanya tersangkut pada 10.4 juta DPT yang dinyatakan bermasalah oleh KPU. Namun, dari 186.165.884 pemilih yang ditetapkan sebagai DPT pemilu 2014 masih menyisakan banyak persoalan secara merata di 34 provinsi.
"Ada kecenderungan pemilih fiktif, pemilih ganda, dan masalah NIK (Nomor Induk Kependudukan). Ini yang kami cek di lapangan, silahkan dicek apakah verifikasi yang kami lakukan bohong atau tidak," kata Arif, Selasa (3/12).
PDI-P, menurut dia, juga membangun sistem informasi teknologi untuk menelusuri sekaligus memastikan validasi dan akurasi DPT.
Dari analisa DPT yang dilakukan PDI-P mencatat sebanyak 47.322.266 DPT masih bermasalah, yang terdiri dari pemilih yang alamatnya kosong sebanyak 5.671.762 orang. Kemudian pemilih dengan jenis kelamin kosong 1.546 orang. Pemilih dengan tanggal lahir kosong 69.958 jiwa.
PDI-P juga menemukan pemilih dengan NIK nol sebanyak 3.238.986 orang. Pemilih dengan NIK tidak standard dengan angka nol pada empat digit di belakang sebanyak 1.358.449 orang.
Pemilih yang NIK-nya tidak sampai 16 digit sebanyak 46.983 orang. Pemilih dengan NIK ganda mencapai 11.720.907 jiwa. Pemilih nomor Kartu Keluarga nol sebanyak 23.457.186 orang. Dan pemilih dengan Kartu Keluarga kurang dari 16 digit sebanyak 1.756.579 jiwa.
Jika KPU bersikukuh menetapkan hasil perbaikan sementara disinyalir DPT bermasalah masih banyak, dikhawatirkan KPU akan berhadapan dengan konstitusi. Sebab, melegalisasi pemilih fiktif sama dengan melanggar UU Pemilu.
Meniadakan pemilih yang punya hak juga berpotensi melanggar UU dan bisa dikenakan pasal pidana penghilangan hak pemilih. Melanggar hak konstitusional juga akan memungkinkan penyelenggara pemilu diseret ke Mahkamah Konstitusi.
"Dan tentu saja pelanggaran masif bisa menyebabkan dia dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)," kata Arif.