REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mabes Polri dinilai harus berhati-hati mengeluarkan kebijakan menunda penggunaan jilbab bagi polwan. Jangan sampai penundaan itu dinilai bermuatan politis.
Penilaian lainnya, bisa jadi Polri sampai dituduh melanggar HAM. Khususnya dalam kebebasan menjalankan ajaran agama bagi setiap warga.
"Alasan belum adanya anggaran yang bisa mendukung pelaksanaan penggunaan kerudung bagi polwan dinilai mengada-ada," jelas Wakil Ketua MPR dari PPP, Lukman Hakim Saifudin, kepada ROL, Rabu (4/12).
Wakil Ketua Umum DPP PPP ini bertanya-tanya, bukankah para polwan itu bisa membeli sendiri jilbab yang akan dikenakan, sejauh diberikan ketentuan jelas mengenai warna, jenis, bentuk, model, dan lainnya demi penyeragaman.
Mestinya, jelas Lukman, Mabes Polri cukup arif dalam menempuh kebijakan terkait hal yang sensitif ini. Yang perlu dilakukan Polri adalah mengatur lebih lanjut bagaimana tata cara pelaksanaan kebijakan yang sudah diumumkan Kapolri itu.
"Bukan malah menundanya sampai batas waktu yang tak menentu," tuturnya.
Penundaan tanpa batas waktu yang jelas itu bisa dimaknai sebagai pembatalan, bahkan larangan atas pengenaan kerudung bagi polwan. "Ini harus dihindari," tegasnya.
Kapolri, Jenderal Sutarman, menyatakan penundaan ini berkaitan dengan penyeragaman. Nantinya jilbab polwan akan dibuat seragam dan dianggarkan.