Rabu 18 Dec 2013 11:18 WIB

Hikmah di Balik Larangan Meratapi Orang yang Meninggal

Rasulullah
Foto: fold3.com
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, Tangis pecah kala bahagia datang. Pada kesempatan lain, duka menerjang. Air mata juga mengalir membasahi pipi. Duka bisa hadir dalam bentuk apa pun, seperti kematian orang yang dicintai. Anggota keluarga tak jarang menangis mengungkapkan kesedihan karena ditinggalkan untuk selamanya. Bolehkah Muslim menangisi mereka yang meninggal?

Menurut ulama ternama Sayyid Sabiq, ulama bersepakat bahwa menangisi jenazah diperbolehkan asal tak disertai jeritan dan ratapan. Ia menjelaskan, dalam sebuah hadis, Rasulullah mengatakan, sesungguhnya Allah SWT tidak menyiksa karena tetesan air mata dan bukan karena kesedihan hati. 

Tapi, Allah menyiksa karena ini, kata Rasulullah sambil memberi isyarat menunjuk pada lisannya. Rasul juga menangis menghadapi kematian anaknya, Ibrahim. Demikian diungkapkan hadis yang diriwayatkan Bukhari yang dikutip dalam Fikih Sunnah, karya Sayyid Sabiq. 

Sesungguhnya, mata meneteskan air matanya, hati diliputi kesedihan, tetapi aku tidak mengucapkan, kecuali apa yang diridhai Tuhan kami, sesungguhnya kami sangat bersedih atas perpisahan ini wahai Ibrahim, ujar Muhammad SAW. Air mata mengalir dari pelupuk mata beliau saat roh Umimah binti Zainab meninggalkan raganya. 

Sa’ad sempat berkata pada manusia bergelar yang terpercaya itu mengenai tangisan terhadap orang yang sudah meninggal. Jawaban terlontar dari mulut kekasih Allah itu, bahwa apa yang ia lakukan adalah rahmat yang ditambahkan Allah ke dalam hati hamba-Nya. Allah hanya berbelas kasihan kepada hamba-Nya yang bersifat welas asih. 

Mengenai soal ini, Imam Thabrani meriwayatkan apa yang disampaikan Abdullah bin Zaid. Sahabat Rasul itu menjelaskan, tangisan atas meninggalnya seseorang yang tak disertai ratapan dan jeritan tidaklah mengapa. Lalu ia melanjutkan, tangisan yang dibarengi ratapan bisa menjadi penyebab disiksanya mayat. 

Umar pernah terkena tikaman dan ia pingsan. Orang-orang di sekitarnya menangisinya dengan ratapan dan jeritan. Setelah ia sadar dari pingsan, ia tahu orang meratapinya dan ia mengingatkan bahwa menurut Rasul mayat akan disiksa atas tangisan orang yang masih hidup. Ada hadis lain serupa yang diriwayatkan Bukhari. 

Sayyid Sabiq menuturkan, hadis itu bermakna orang yang meninggal merasakan sakit atas ratapan keluarganya. Sebab, hakikatnya orang yang meninggal dapat mendengar tangisan keluarganya dan mengetahui perbuatan mereka. Namun, ia menegaskan, hadis itu bukan berarti orang meninggal akan disiksa karena dosa tangisan keluarganya. 

Apalagi, dalam Islam, ditegaskan seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. Sabiq menambahkan, ada banyak hadis menerangkan mengenai dilarangnya meratapi orang yang meninggal dunia. Hadis yang bersumber dari Abu Malik al-Asy’ari menerangkan, ada empat perilaku umat Muhammad yang merupakan perilaku jahiliyah.

Keempat perilaku itu adalah berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, meminta hujan pada ahli nujum, dan meratap. Sementara itu, Ummu Athiyah menginformasikan bahwa Rasul meminta umatnya berjanji agar tak meratapi orang yang meninggal dunia. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement