REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Skeptisme perempuan dinilai masih menjadi hambatan utama kaum Hawa untuk turut mengambil posisi di bidang strategis.
Pernyataan itu diungkapkan peneliti LIPI, Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi bulanan Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi dengan tema Potret Politik Kaum Ibu di Jakarta, Kamis (19/12). Jaleswari berkata, sinisme dan skeptisme kemampuan perempuan di dunia politik masih kerap dipertanyakan. Hal ini sangat berbeda dengan kaum pria yang sudah tidak lagi dipertanyakan kemampuannya di berbagai bidang.
"Secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda tetapi ada yang salah kaprah dalam melihat kodrat perempuan," ujarnya.
Konstuksi sosial perempuan di masyarakat masih memandang lemah perempuan. "Perbedaan. skeptisme ini terus terjadi di masyarakat," katanya.
Ia mengungkapkan, sebagai gambaran, data menunjukan ketimpangan akses terhadap pembangunan bagi perempuan masih cukup memprihatinkan. Di bidang pendidikan angka buta huruf perempuan masih cukup tinggi. Di bidang kesehatan angka kematian ibu (AKI) juga masih cukup besar.
"Melihat fenomena kaum perempuan ditanah air tentang hak-hak politiknya dan betapa pentingnya untuk menegakan hak-hak perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan bangsa ini memang belum terkesan dirasakan," katanya..
Pengamat Politik Perempuan Univeritas Negeri Jakarta (UNJ), Hanif Pudjiawati mengatakan, diberikannya kesempatan bagi kaum perempuan untuk terjun ke politik dalam UU Pemilu terkait dengan keterwakilan Perempuan sebesar 30 persen belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh kaum perempuan. "Ini fakta ketertarikan kaum perempuan belum besar di politik," katanya.
Menurutnya, kini kesempatan peran perempuan dalam demokrasi dipanggung politik, bukan saja harus dipikirkan quata 30 persen perempuan, tetapi harus berfikir membangun kesamaan pemikiran untuk menyatukan berbagai pemahaman mengenai hak perempuan terutama pada pemilu.
Secara formal, kata Hanif, sesungguhnya melihat potret politik kaum ibu secara formal memang bisa tercermin dari keterwakilannya di legislatif, perannya di kepala daerah dan perannya di lembaga negara.
Kurang menariknya tema-tema politik bagi kaum perempuan, menurutnya, juga menjadi masalah yang juga menghambat ketertarikan kaum ibu di politik. "Saat ini tema-tema politik masih kurang menarik bagi kaum ibu. Untuk itu, perlunya perlunya memilih tema politik yang menarik bagi kaum ibu," katanya.
Menurutnya, secara substansi sesungguhnya peranan perempuan dalam membangun bangsa bisa dikatakan juga sebagai peran politik kaum perempuan. "Peran perempuan bisa dibalik layar dan di publik. Peran perempuan dibalik layar bisa lebih dasyat," ujarnya mengakhiri.