REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penahanan terhadap Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam pengembangan kasus suap penanganan sengketa pilkada Kabupaten Lebak di Mahkamah Konstitusi (MK). KPK juga mengupayakan untuk meminta agar Atut dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Gubernur Banten.
"Memang belum (diminta untuk dinonaktifkan), tapi bisa saja (diupayakan)," kata juru bicara KPK, Johan Budi SP yang dihubungi ROL, Ahad (5/1).
Johan membantah jika KPK melarang atau menolak permintaan izin untuk menjenguk Atut di Rutan Pondok Bambu yang diajukan sejumlah pejabat di Pemprov Banten. Menurutnya izin tersebut akan diberikan jika sesuai dengan peraturan yaitu sesuai dengan jam besuk setiap Senin dan Kamis.
Lagipula surat yang diajukan Pemprov Banten bukanlah untuk menjenguk. Surat yang dikirimkan Pemprov Banten, lanjutnya, melainkan surat permohonan permintaan penandatanganan surat terkait pelaksanaan pemerintahan Banten. "Sampai saat ini permintaan itu masih dipelajari oleh pimpinan KPK," tegas Johan.
Sebelumnya KPK menetapkan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam pengembangan kasus suap penanganan sengketa pilkada Kabupaten Lebak di MK. Atut bersama dengan adik kandungnya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan diduga sebagai tersangka pemberi suap kepada Ketua MK saat itu, Akil Mochtar melalui pengacara Susi Tur Andayani.
Selain kasus tersebut, KPK juga menetapkan Atut sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan alkes di Pemprov Banten Tahun Anggaran 2010-2012. Akan tetapi KPK masih belum menerbitkan sprindik untuk Atut dalam kasus ini karena masih merumuskan pasal jeratan untuk Atut.
Selain kasus alkes di Banten ini, KPK juga sedang melakukan penyelidikan terhadap kasus bantuan sosial (bansos) di Pemprov Banten. Kasus ini juga diduga ikut melibatkan Atut selaku Gubernur Banten karena diduga uang bansos ini juga mengalir ke perusahaan atau organisasi yang dimiliki atau dipimpin dari keluarga besar Atut.