REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
Dua pekan terakhir, sebagian besar warga yang rumahnya di dekat sungai dilanda banjir. Ratusan rumah terendam, ribuan warga mengungsi akibat rumahnya terendam air. Tempat ibadah, sekolah, aula hingga pinggir jalan raya yang didirikan tenda-tenda pengungsian dijadikan lokasi warga korban banjir untuk mengungsi.
Bencana banjir menjadi dramatis ketika sebagian besar wilayah Jakarta, Bekasi, Tangerang dan bahkan wilayah Indonesia Bagian Tengah (Sulawesi Utara) ikut terkena banjir bandang. Isu bencana banjir semakin membahana tatkala media massa memberitakan terus menerus korban banjir. Bantuan berdatangan. Tidak hanya dari pemerintah yang merupakan kewajibannya, kalangan swasta tidak mau kalah mengulurkan bantuannya.
Mereka berdatangan secara sukarela menjadi relawan, ikut membantu baik secara fisik maupun secara finansial. Kesetiakawanan sosial meningkat. Rasa solidaritas warga terhadap korban banjir terus meningkat.
Bencana alam, termasuk banjir memang menjadi wahana atau media yang paling mudah meningkatkan rasa solidaritas. Pada kondisi bencana alam, masyarakat tidak melihat latar belakang sosial; tidak melihat asal suku, asal agama, status sosial maupun jenis kelamin. Mereka hanya melihat sisi kemanusian (human interest).
Disinilah rasa persaudaraan meningkat. Ajaran Islam yang rahmatan lil alamin benar-benar membumi. Kesalehan sosial benar-benar terasa. Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa Islam benar-benar membumi. Firman Allah SWT dalam Alquran, surah Al-An’am: 160; “Barang siapa yang membawa satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat kebaikan itu.”
Idealnya, rasa solidaritas, rasa kesetiakawanan sosial muncul tidak harus melalui bencana alam. Kemunculan rasa solidaritas sosial tidak harus diawali bencana alam. Kita tidak ingin adanya jatuh korban baru muncul rasa kesetiakawanan sosial. Kita ingin, rasa kesetiakawanan sosial benar-benar tinggi di masyarakat.
Harus kita akui juga modernisasi yang terjadi pada masyarakat perkotaan membuat prilaku dan watak individualistik berkembang pesat. Rasa kesetiawakanan sesama masyarakat memudar. Rasa kekeluargaan sesama warga negara seakan-akan hilang di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi.
Tidak heran jika seorang warga mendapat musibah, hanya menjadi tontonan warga masyarakat lain. Kehidupan menjadi sendiri-sendiri, karena hanya memang mementingkan dan mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain.
Tentu kondisi ini tidak kita inginkan. Untuk meningkatkan rasa kesetiakawanan sosial, cara lain juga bisa kita lakukan dengan meningkatkan kegiatan gotong royong di masyarakat.
Secara umum sebagai bangsa Indonesia, sebenarnya kita harus berbangga memiliki tradisi gotong royong. Karena selama ini tradisi gotong royong dianggap sebagai kearifan lokal bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun temurun di setiap generasi. Istilah gotong royong dapat dimaknai sebagai “bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil.
Atau suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing”. Dengan kata lain gotong royong dapat dimaknai sebagai saling tolong menolong untuk mengerjakan sesuatu, khususnya sesuatu yang bermakna sosial. Semoga musibah banjir dapat membawa hikmah kebaikan guna membangkitkan rasa solidaritas sosial antar sesama umat manusia.