REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Mahkamah Agung Negara Bagian Victoria, Australia, Jumat (7/2) secara resmi menyetujui paket kompensasi senilai $89 juta (sekitar Rp 890 miliar) bagi korban thalidomide di Australia dan Selandia Baru.
Perusahaan asal Inggris Diageo setuju untuk membayar kompensasi kepada sekitar 100 korban Thalidomide, guna membiayai hidup mereka sampai meninggal.
Diageo adalah pemilik dari kelompok The Distillers Group yang memasarkan obat thalidomide, yang dijual sebagai obat untuk para ibu yang hamil muda yang mengalami muntah-muntah (morning sickness) di akhir tahun 1950-an.
Pengacara Peter Gordon yang mewakili para korban bahwa ini merupakan penyelesaian yang memadai dan adil.
Di pengadilan, disebutkan bahwa semua keluarga korban menerima usulan bagi penyelesaian tersebut.
"Tidak ada korban yang akan meninggal sambil bertanya-tanya mengapa masalah mereka belum diselesaikan." kata Gordon.
Kasus kompensasi ini diajukan oleh para korban dalam bentuk class action dengan menuduh Diageo dan The Distillers Group lalai dengan membiarkan obat itu dijual tanpa uji memadai, dan gagal menarik obat tersebut dari pasar ketika ada kasus.
Salah seorang korban yang menyaksikan berakhirnya proses peradilan adalah Lynette Rowe dari Melbourne.
Dia dilahirkan tanpa lengan dan kaki, setelah ibunya meminum obat tersebut karena muntah-muntah dan cemas ketika hamil.
Diperlukan waktu 50 tahun bagi keluarga Rowe untuk mendapat pengakuan resmi bahwa obat tersebut menjadi sebab atas kecacatan yang dialaminya, dan mendapatkan kompensasi.
Obat ini pada awalnya dijual dengan resep di akhir tahun 1950-an sebagai obat "bius" bagi para wanita hamil dan kemudian dijual bebas tanpa resep.
Banyak bayi yang dilahirkan dari para wanita yang meminum obat tersebut yang mengalami cacat seperti tidak memiliki tangan, kaki, mengalami masalah ginjal dan jantung, dan mengurangi harapan hidup mereka.
Diperkirakan ada sekitar 10 ribu korban thalidomide di seluruh dunia.