Oleh: Nashih Nashrullah
Ada satu lagi nama yang berjasa membentuk kecerdasan dan kepribadian Samirah, yaitu Nabawiyah Musa.
Guru Samirah di sekolah menengah pertama itu adalah figur teladan. Ia sangat peduli dengan pendidikan kaum perempuan.
Nabawiyah kerap memberikan motivasi Samirah, hingga ia berhasil masuk di sekolah negeri. Di lembaga formal pemerintah itu, secara nasional lagi-lagi ia terunggul mengalahkan teman sejawatnya, tak terkecuali siswa laki-laki. Namanya melambung dan menjadi sorotan media.
Pengalaman akademisnya berlanjut saat ia menempuh kuliah di Universitas Fuad I (sekarang Universitas Kairo). Tetapi, langkahnya tak selalu lancar. Berbagai hambatan senantiasa menghadangnya.
Tidak hanya soal kebutuhan menikah yang sangat mendesak, ia mesti menghadapi problematika sosial terkait hak pendidikan kaum perempuan. Semuanya berhasil ia lalui.
Kejeniusanya semakin terasah di dunia kampus. Di usianya yang masih muda, ia terpilih sebagai pembantu dekan. Pada 1947, ia mendapatkan beasiswa studi di Inggris untuk bidang sinar X-Ray selama tiga tahun. Pada 1951, ia mendapatkan tawaran untuk melakukan riset di Universitas Saint Louis, Amerika Serikat.
Dua tujuan riset itu, yaitu urgensi perdamaian dunia dan pengembangan nuklir oleh Mesir. Hasil riset tersebut sangat memuaskan. Ia sempat mendapatkan tawaran untuk menetap di Amerika Serikat. Tetapi, nasionalisme yang ia miliki menampik semua tawaran itu. “Tanah air paling berharga bernama Mesir telah menantiku,” katanya.