REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mengaku siap diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus pengadaan bus Transjakarta dan Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB) yang bermasalah.
“Ya, tidak apa-apalah. Tapi, kasus ini kan juga masih diperiksa oleh Inspektorat,” ujar Jokowi kepada wartawan, Jumat (21/2).
Sebelumnya, Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi, meminta KPK memeriksa Jokowi terkait pengadaan bus yang diduga sarat dengan korupsi tersebut.
Mantan wali kota Solo itu enggan berspekulasi mengenai ada atau tidaknya indikasi korupsi di balik kisruh bus rusak tersebut. Jokowi baru bisa berkomentar setelah menerima laporan resmi hasil investigasi dari Inspektorat.
“Saya akan ngomong ada atau tidak (korupsi) setelah dapat laporan dari Inspektorat. Saya tidak mau menduga-duga karena menyangkut nasib seseorang,” ujarnya.
Kisruh bus Transjakarta dan BKTB baru yang sudah rusak hingga kini masih belum menemukan titik terang. Inspektorat yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini belum bisa menyimpulkan apa dan siapa di balik kisruh bus rusak yang dibeli dari Cina tersebut.
Masalah Jokowi bukan hanya rusaknya 13 bus Transjakarta dan BKTB. Proyek monorel juga terancam kembali mangkrak. Pasalnya, PT Jakarta Monorail (JM) selaku perusahaan swasta yang diberi mandat melanjutkan proyek transportasi massal berbasis rel tunggal itu belum juga melanjutkan tugasnya.
Kisruh meluas setelah PT JM menuding PT Adhi Karya menggelembungkan harga tiang-tiang monorel. “Tuduhan PT Jakarta Monorail itu sangat keji,” kata Direktur Utama PT Adhi Karya Kiswo Dharmawan dalam jumpa wartawan di Jakarta, Jumat.
PT Adhi Karya pun balik menuding PT JM belum pernah membayar kontraknya hingga kini sehingga pekerjaan konstruksi dihentikan. “Tidak benar kalau kita dikatakan menggelembungkan angka. Progresnya sudah sampai tiang pancang untuk stasiun. Apa yang dikeluarkan berdasarkan dokumen resmi,” kata Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya M Aprindy. “Sejak selesai tahun 2007, kami belum dibayar.”
Pada 2005 PT Adhi Karya memperoleh kontrak Design and Build Civil Structure Works proyek pembangunan monorel dari PT JM senilai 224 juta dolar AS. Nilai itu di luar pajak pertambahan nilai (PPN). Nilai kontrak ini kemudian mengalami perubahan pada 2007 menjadi 211 juta dolar AS.
PT JM mengaku sanggup menyelesaikan proyek monorel tepat waktu. Direktur Utama PT JM John Aryanda menyatakan, keterlambatan pembangunan karena alotnya penyelesaian dokumen perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI. “Kita harus mengikuti dan menyesuaikan terlebih dahulu dengan keadaan Kota Jakarta sekarang,” kata Jhon.