REPUBLIKA.CO.ID, Perlu dilakukan penyadaran terus-menerus tentang bahaya korupsi. Korupsi bagaikan cerita yang tak pernah berujung bagi negeri ini.
Tak terhitung telah berapa banyak uang rakyat yang digerogoti oleh tikus-tikus elite di negeri ini. Soal hukuman yang memberi efek jera? Untuk memberantas korupsi rasanya seperti api yang masih jauh dari panggangnya.
Belakangan ini, Indonesia kembali digaduhkan oleh pemberitaan korupsi. Isunya bermula dari dugaan praktik suap dalam pengadaan sapi impor. Kabar ini menjadi trending topic karena melibatkan petinggi partai.
Buntut dari dugaan tersebut, mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq harus digelandang oleh KPK. Banyak pihak mencibir, tapi sebagian lainnya hanya bisa mengelus dada karena merasa prihatin.
Maklum saja PKS selama ini mengklaim dirinya sebagai partai yang bebas korupsi. Nyatanya, virus amoral berupa korupsi itu juga tak luput melemahkan imunitas partai ini.
Apakah benar korupsi sudah menjadi perilaku yang mendarah daging bagi sebagian orang di negeri ini? ''Korupsi yang melibatkan PKS ini sudah semakin membuktikan bahwa negara ini sudah seperti mengidap penyakit kronis,'' kata mahasiswa Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Reza Fahlevi.
Reza gundah dan kesal. Menurut dia, dengan ditangkapnya mantan presiden PKS ini menyempurnakan status Indonesia yang tak lagi memiliki partai bersih. ''Sekarang ini yang ada hanya partai yang suka bersih-bersih,'' cetusnya.
Ia menyebut, saat ini Indonesia sebagai negeri galau. Negeri yang tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya meratap dan menanti waktu kehancurannya akibat perilaku korupsi yang kian akut.
''Negeri komunis Cina berani menghukum mati para tikus. Indonesia sebagai negara hukum harusnya jangan menjadi pengecut untuk menentukan hukuman bagi penilep uang rakyat ini,'' seru Reza dengan semangat yang berapi-api.
Sementara itu, aktivis HMI dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Subairi Muzakki menilai, korupsi yang kini terjadi di Indonesia karena adanya faktor kultural dan struktutal.
Secara kultural, korupsi terlahir karena telah terkikisnya nilai-nilai luhur dan moralitas manusia. Ini mengakibatkan tak ada lagi nilai yang dipegang. ''Hal ini kemudian membuat orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan itu sudah membudaya,'' ujarnya.